Menu Tutup

Ketika Takdir Berkata Lain

Bab 1

Pertemuan Tak Terduga

SELEPAS jam mengajar di sore hari, seperti biasa sambil menunggu jam macet berkurang. Aku mampir ke pondok siomay terlezat dan termurah yang pernah kuketahui. Tak ada angin dan tak ada hujan, tiba-tiba salah seorang pelayan pondok makan menghampiriku yang baru saja duduk di bangku paling ujung sebelah kanan dekat pintu masuk.

“Ini siomaynya, Mbak. Silakan dinikmati,” ucap pelayan laki-laki muda yang terlihat seperti baru menamatkan seragam putih abu-abunya.

Aku terdiam beberapa detik sambil menatap makanan dan minuman yang telah tersaji di hadapanku. “Loh, saya kan belum pesan, Mas?”

“Iya, Mbak. Tapi, barusan udah dipesenin ama mas- mas yang duduk di meja nomor empat.” Pelayan tersebut menjelaskan kebingunganku sambil menunjuk ke arah yang ia maksud tadi.

Terlihat seorang laki-laki mengenakan jaket kulit berwarna hitam sedang duduk memunggungiku. ‘Sapa ya?’ batinku bertanya, ‘kok dia bisa tau pesananku?’ Ingin rasanya menghampiri laki-laki asing tersebut, tapi rasa lapar lebih mendominasi. Tanpa membuang waktu, aku langsung memakan hidangan yang telah berkurang suhu panasnya. Nggak baik kan menolak rezeki, hehehe.

Tak lama, saat sedang asyik menikmati siomay, tiba- tiba ada sebuah suara yang mengalihkanku dari sepiring siomay yang lezat ini. “Laper banget ya?” sapa pemilik suara bariton yang langsung duduk tepat di hadapanku dengan senyuman yang familiar bagiku.

Indera penglihatanku langsung mengarah ke sebuah tempat duduk yang tadi diduduki oleh laki-laki asing yang memesankan makanan untukku. Aku terdiam mendengar sapaannya, sembari mengingat-ingat siapa sosok yang saat ini sedang berada di depanku ini. Rasanya tak asing.

“Kenapa, kok gitu ngeliatin saya?” tanyanya memecahkan kebisuanku.

Tak lama, mulai muncul kepingan puzzle tentang laki- laki yang sepertinya mulai kuyakini kalau dia adalah, adik dari salah satu seniorku di kampus dulu.

“Nggak papa,” jawabku singkat sambil seraya tersenyum.

“Jangan bilang … kalau kamu lupa ama saya, Ath?”

“Ingat kok, Abang adiknya Mbak Anggi, kan?” tanyaku cepat sekalian memastikan bahwa aku tak salah orang.

Sebuah kelegaan terlihat di wajah Bang Fariz tak lama setelah mendengar ucapanku sambil memperbaiki posisi kacamata yang ia kenakan.

“Saya pikir, kamu betulan lupa. Tapi syukur deh, kalau kamu udah ingat,” ucap laki-laki yang ternyata memiliki lesung pipit di pipi sebelah kanannya.

“Saya, boleh duduk sini kan? Anggap aja nemenin kamu makan,” pintanya tak lama kemudian.

Aku hanya menggangguk sebagai jawaban atas permintaannya.

“Abisin nggih, makanannya.”

Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menuruti permintaannya dengan kembali makan. Suasana hening, aku tak berani mengangkat kepalaku yang tertunduk tapi aku bisa merasakan kalau laki-laki asing yang berada di depanku ini sedang menatapku secara intens. Sepertinya, hanya ada aku yang ada di sekitarnya. Duh kok, jadi ge-er gini sih?

“Udah selesai makannya?” tanya Bang Fariz saat piring makananku telah kosong.

Entah apa yang ada di dalam pikiranku, hingga kepalaku lagi-lagi hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaannya.

“Kamu kenapa sih, Athirah? Dari tadi, cuma angguk- angguk kepala aja.”

“Nggak papa, Bang. Cuma agak bingung aja.” Aku mencoba menyampaikan apa yang kurasakan saat ini kepada laki-laki yang tiba-tiba muncul ini.

“Bingung kenapa?”

“Banyak.” Aku mengambil gelas minumanku yang isinya tinggal separuh dan dengan cepat langsung meminumnya hingga tandas.

“Pertama, kenapa Abang bisa tiba-tiba muncul di sini?” “Kamu lupa, kalau kantor saya di daerah sini.”

Eh, iyakah? Dulu memang seniorku, Mbak Anggi pernah memberitahuku kalau kantor adik laki-lakinya ini berada di daerah tempat mengajarku saat ini. Tapi, wajar bukan kalau aku lupa, karena info itu sudah lama berlalu. Tepatnya saat aku masih menjadi mahasiswi tahun ketiga, dan sekarang, hampir dua tahun aku lulus dari kampus yang penuh dengan kenangan.

“Trus, yang kedua apa?” tanya laki-laki yang umurnya sepertinya, tiga tahun di atasku ini.

“Ehmmm … kok Abang bisa tau, kalau … Athirah mau makan di sini? Sore ini.”

Tak lama suara kekehan Bang Fariz terdengar dan membuatku berpikir, kalau ia mungkin telah dirasuki oleh sesuatu atau makhluk halus penunggu tempat makan ini. Seketika lisanku langsung melafazkan kalimat taawuz.

“Kok, jadi taawuz sih, Ath?” Kini suara kekehannya berubah menjadi tawa yang sangat bahagia. Bahagia karena telah membuatku bingung dan bergidik ngeri secara bersamaan.

Aku terdiam dan memasang wajah cemberut kepada laki-laki menyebalkan di depanku ini. Ya, satu hal lagi yang

aku ingat tentangnya. Kalau laki-laki yang bernama Arroyan Dylan Alfarizqi yang saat ini sedang tergelak di hadapanku, adalah laki-laki paling menyebalkan yang pernah kukenal.

Butuh dua menit bagiku untuk bisa bersabar mendengarkan suara tawanya reda.

“Maaf maaf … kamu tetap lucu ya, Ath.” Bang fariz terlihat sedang berusaha meredakan tawanya yang terdengar sangat menyenangkan bagiku, dulu. Saat ia masih sering datang ke kampus untuk menjemput Mbak Anggi jika ada acara-acara rohani Islam di kampus.

Hubunganku dengan wanita yang selisih lima tahun denganku itu, yang merupakan kakak dari laki-laki menyebalkan ini. Bisa dikatakan cukup dekat. Selain kami satu jurusan, kami juga sama-sama aktif di sebuah organisasi, keputrian LDK.

“Lucu apanya?” tanyaku jutek sambil melipat tangan ke depan, dan menatapnya tajam.

“Waw, sabar, Uni Sayang,” ucap Bang Fariz spontanitas, dengan menyematkan panggilan khusus yang dulu sering diucapkan oleh kakaknya kepadaku.

Tiba-tiba pipiku menghangat. Entah karena rindu dengan Mbak Anggi yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri atau karena panggilan ‘sayang’ yang biasanya hanya diucapkan oleh Mbak Anggi, kini juga diucapkan oleh adiknya. Laki-laki yang dulu menurut penilaian teman-teman kampusku, telah menaruh hati untukku. Saat itu, aku hanya menanggap angin lalu semua ucapan mereka. Tak ingin berharap, lebih tepatnya.

Sadar dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan, Bang Fariz terlihat salah tingkah. Menggaruk kepalanya yang aku yakini tidak gatal sama sekali.

“Ehmmm … maaf ya, Ath. Aku keceplosan.” Tawa hambar bin garing Bang Fariz kini terdengar jelas di antara kami berdua.

“Beberapa waktu yang lalu, aku lihat kamu keluar dari sini. Aku lagi markir motor di depan, mau ke sini juga beli titipan Mbak Anggi yang lagi ngidam.”

Tak lama mengalirlah cerita tentang Mbak Anggi yang telah menikah secara mendadak, enam bulan yang lalu hingga tak sempat untuk mengundang orang banyak termasuk aku dan kini telah hamil tiga bulan. Serta, alasan mengapa laki-laki berparas sunda ini bisa tiba-tiba hadir di sini. Cerita yang cukup mengagetkan dan menyenangkan bagiku. Tapi, entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan kalimatnya.

“Kenapa, Ath? Kok tiba-tiba diem, ada yang salah ya, ama cerita saya?” tanya Bang Fariz saat melihat aku hanya terdiam setelah ia bercerita panjang lebar.

“Nggak papa, cuma kayaknya ada yang aneh aja.” Ragu ingin menyampaikan apa yang sedang kupikirkan saat ini kepadanya. “Sejak kapan, Abang ‘ber-aku kamu’ ama Athirah? Bukannya dulu, bahkan tadi masih pake ‘saya-kamu’, ya?”

Lagi! Laki-laki di hadapanku ini terlihat gugup, canggung dan malu. ‘Sebenarnya, Bang Fariz ini kenapa sih? atau tadi dia salah makan ya?’ tanyaku dalam hati.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *