Menu Tutup

The Wedding Crashers: Misi Batalin Pernikahan!

Bab 1: Undangan Mengejutkan

 

Sore hari di sebuah café kecil di sudut kota. Matahari perlahan turun di ufuk barat. Sinarnya keemasan menembus kaca jendela besar, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu. Aroma kopi yang baru diseduh menguar bercampur dengan wangi kue-kue yang baru keluar dari oven, mengisi setiap sudut ruangan dan menciptakan rasa nyaman.

Para pengunjung tampak asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang tenggelam dalam buku, ada pula yang sibuk mengetik di laptop ditemani secangkir cappuccino hangat dan sepotong croissant. Suara dentingan sendok dengan cangkir, tawa pelan, dan alunan musik akustik yang diputar dengan volume rendah menciptakan harmoni yang menenangkan.

Di salah satu sudut ruangan, tampak empat orang muda-mudi sedang mengobrol asyik sambil sesekali tertawa. Mereka mendiskusikan topik paling penting dalam hidup mereka: kopi favorit.

Ricky, sambil menyesap kopi hitamnya berujar. “Aku tim kopi hitam tanpa gula. Kopi tuh pahit, kalau mau manis ya minum sirup aja.”

Dimas menatap sinis ke arah Ricky. Sambil mengaduk hazelnut coffee-nya, dia menimpali “Selera kamu tuh jadul banget sih, Ky. Zaman sekarang kopi tuh harus kekinian, variatif dan kaya rasa, gak monoton kayak film hitam putih.”

“Kayak kamu pernah nonton film hitam putih aja.” Sari nimbrung sambil scrolling HP.

“Kopi pahit itu mengingatkan kita untuk menghargai pahitnya perjuangan,” sambung Ricky.

“Hidup kita sudah pahit, ngapain ditambah pahit lagi.” Dimas tak mau kalah.

“Eh, stop dulu ngomongin kopi! Nih, aku dapat undangan digital dari Dinda.” Sari berseru kaget.

“Dinda?!?” Yang lainnya juga tak kalah kaget

Alda merebut HP Sari. Matanya membesar. “Beneran, ini Dinda mau nikah!”

“Kamu gak salah baca, kan?” tanya Dimas.

Sari memelototi undangan itu, seolah tak yakin. “Beneran ini, Dinda Azizah. Calon lakinya Rudi Irawan. Rudi!?”

“Udah nggak usah heboh gitu. Mungkin aja typo, Dinda salah ketik.” Alda mencoba bercanda meski suaranya sendiri terdengar tak yakin.

Ricky, menyesap kopi hitamnya pelan, dan berkata “Ini bukan typo, Al. Ini beneran. Dinda … bakal nikah.”

Hening mewarnai. Empat pasang mata saling menatap, seolah pikiran mereka baru mencerna satu fakta penting. Sahabat mereka, Dinda, benar-benar akan menikah. Masalahnya, mereka merasa ada yang tidak beres.

“Aku nggak percaya. Terakhir kita ketemu, Dinda bahkan baru putus dari Arif, kan?” ujar Alda menatap ke arah teman-temannya sambil tangannya memutar cangkir coffee latte-nya di atas meja.

“Dan itu baru enam bulan lalu,” kata Dimas sambil mengetuk-ngetuk telunjuk kanannya ke atas meja, dengan sorot mata yang tampak berpikir. “Dia move on secepat itu? Kayaknya nggak mungkin, deh! Dinda itu tipe cewek bucin akut dan setia. Dia bakalan susah move on.”

Ricky, yang dari tadi tampak merenung, tiba-tiba membuka ponselnya dan mulai stalking akun Instagram Dinda. “Nih, ada nama cowoknya. Bener Rudi Irawan! Bentar. Ini … Rudi yang kita kenal waktu reuni tahun lalu, kan? Yang suka pake baju branded, tapi selalu pura-pura ketinggalan dompet?”

Alda, menghembuskan napas kuat. “Ya ampun, Dinda … Dinda. Kenapa selera kamu kayak wifi kos-kosan gitu? Lemah banget pilih sinyal cinta,” keluhnya, lantas menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Kita harus datang!” ucap Ricky tegas, sambil menatap ketiga temannya bergantian. “Tapi bukan  buat kasih ucapan selamat.”

Sari mengernyit. “Maksudmu?”

“Kita pastiin dia nggak salah pilih orang.” Ricky menatap tajam, dan ketiga temannya langsung paham.

Alda mendengus. “Bener. Kita nggak bisa tinggal diam, Guys. Dinda sahabat kita. Kita tahu Rudi tuh cowok toxic level platinum. Kita harus selamatin Dinda sebelum dia nikah beneran.”

Dimas sambil mengangkat alis sebelah “Kalo Rudi beneran cowok bermasalah, kita batalin pernikahannya. Setuju?”

Ketiga temannya mengangguk dan satu per satu mereka mengangkat cangkir kopi masing-masing seperti di film-film.

“To The Wedding Crashers!” kata Alda, disambut dentingan cangkir yang beradu.

Di luar gelap mulai turun. Mereka segera menghabiskan kopi dan makanan masing-masing, lantas berlalu dari kafe itu dengan pikiran yang penuh rencana.

 

To Be Continued

By: Tim A

(Sumijati)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *