Bab 1
Sabtu sore yang cerah, secerah aura orang-orang menyambut weekend.
Saatnya menikmati waktu istirahat dari rutinitas pekerjaan atau belajar, momen paling ditunggu untuk ngedate bareng keluarga maupun pasangan.
Kalau yang jomblo?
Yaa, seperti empat sekawan Amira, Gendhis, Sariyem dan Moly. Bukannya sibuk kencan romantis sambil merencanakan masa depan. Malah sibuk meratapi nasib.
Di usia rentang 25 ke atas sebagai warga +62 bisa dipastikan sindiran-sindiran halus mulai bermunculan tertuju untuk para jomblo meresahkan seperti mereka. Usia cukup, pekerjaan mapan, secara look juga spek standar kekinian semua. Minusnya jomblo saja, serius!
Jomblo karena keinginan ataupun pilihan, keduanya tidak ada yang salah. Mereka yang menjalani saja masih selow living. Tapi ya … berhubung Emak Bapak sudah nyindir-nyindir soal cucu. Saudara pada ngebet punya ponakan. Penasaran siapa yang jadi jodoh mereka. Jadilah situasi memanas!
Jangankan orang lain, sesungguhnya mereka lebih penasaran perihal siapa yang akan menjadi jodoh dunia akhirat masing-masing.
“Mending besok-besok kalian nggak usah nongkrong ke sini lagi. Takut warungku jadi sepi! Aura jomblo kita kalau berdekatan gini tuh, suram, dekil kaya serbet, lap-lapan mulu kita!” gerutu Amira, si pemilik warung Ayam Milenial. Warung yang menjual beberapa menu olahan ayam kekinian, tempat para gadis jomblo tersebut biasa berkumpul.
“Yee … salah! Biar jomblo, kita magnet penarik rejeki. Buktinya kita pada sukses soal pekerjaan. Ayam Milenial rame pembeli berkat pesona kita juga yess!” Moly yang tak terima, membela kejombloan sampai bersungut-sungut.
“Sudah. Daripada sepaneng bahas status, ayo kita ngopi biar nemu inspirasi,” cetus Sariyem mulai jengah dengan tema obrolan yang tak kunjung usai. “Tak buatin … special buat para sahabat sejombloku,” imbuh Sariyem dengan nada sinis begitu melihat tatapan mata dan ekspresi ngambek-ngambek ngarep ketiga sahabat atas bujukannya.
Kopi racikan Sariyem seakan menjadi candu bagi para sahabatnya. Bermula dari seringnya menjadi barista untuk circle pertemanan yang kebetulan semua pecinta kopi, membawa Sariyem menjadi seorang peracik kopi profesional. Barista.
Dengan telaten dan cekatan Sariyem meracik kopi sesuai selera ketiga sahabatnya. Warung Ayam Milenial sudah selayaknya basecamp. Tak perlu heran jika bahan dan alat membuat kopi tersedia lengkap meskipun tidak ada menu kopi di daftar minuman Ayam Milenial. Bahkan terdapat ruangan pribadi untuk keempatnya biasa menghabiskan waktu bersama seperti sekarang.
Begitu kopi tersaji di atas meja tanpa menunggu aba-aba semua langsung menyeruput cangkir masing-masing.
Puas menyeruput kopi, Gendhis yang sedari tadi hanya menyimak obrolan para sahabatnya kini memilih sibuk mensecrol beranda facebook, berharap menemukan menu baru ataupun ide-ide cemerlang untuk mengembangkan usaha catering miliknya.
“Alhamdulillah … biar jomblo rezekiku melimpah. Malam minggu pengunjung warungku mayoritas berpasangan bestie … lihat orang-orang pada sweet itu, pedih!” gumam Amira sambil memantau kondisi warung sekaligus kinerja para karyawannya lewat layar monitor CCTV.
“Utamakan solusi bukan keluhan. Usaha cari jodoh, usaha ikut biro jodoh, kek. Taaruf atau apa gitu.” Gendhis yang terbawa suasana hati sahabatnya menyahut tanpa sadar.
Suasana hening seketika.
Gendhis mengangkat kepala memandang satu per satu sahabat yang ternyata semua juga memandang ke arahnya.
Dengan gerakan slow motion tangan Gendhis mengarahkan layar ponsel pada sahabatnya, menunjukkan apa yang baru saja ia temukan.
To Be Continued
By: Tim B
(Ulil Mutakin)