Puasa dan Godaannya
Oleh Lina Ifania
Stop! Aku berhenti membaca postingan—yang juga penggalan lirik lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik era 90-an—yang lewat di aplikasi Facebook. Hampir semua orang tahu jika lagu tersebut memiliki pesan yang begitu kuat. Namun, apa semuanya bisa menerapkan pesan lagu itu ke dalam kehidupan nyata? Tidak semua, termasuk aku.
Lagu hanya sekadar lagu, pada kenyataannya banyak orang yang memprioritaskan baju lebaran. Aku pun tak memungkiri euforia membeli baju lebaran, dahulu, saat masih bekerja.
Pada saat memasuki awal Ramadan, aku telah merinci untuk kebutuhanku, Ibu, serta dua adikku. Karena sebelas bulan jarang membeli baju, kurasa bukan masalah jika aku menyenangkan diri sendiri dan adikku menjelang Idulfitri.
“Teh, kapan kita libur kerja?” tanyaku kepada Teh Wati. Aku bekerja di pabrik percetakan buku.
Waktu itu, sekitar pukul 13.00, semua karyawan pabrik sedang beristirahat. Jika pada bulan biasa kami berhamburan ke luar mencari makanan, pada bulan Ramadan aku lebih suka diam saja di ruangan yang penuh dengan buku itu. Tak jarang aku membaca novel dari lembaran-lembaran yang belum dijilid.
“Nanti, biasanya kita libur seminggu sebelum Lebaran,” jawab Teh Wati yang tiduran di atas meja penyusunan buku.
Benar saja. Sabtu ketiga di bulan Ramadan, semua karyawan diliburkan. Karena letak pabrik tempatku berkerja ada di jalan Rajawali Ciroyom, naik angkot sebentar aku sudah sampai di Pasar Baru Bandung. Aku sengaja melipir ke sana sendirian, mencari gamis untuk Ibu.
Tak bisa kubayangkan andai Ibu ikut bersamaku. Suasana di sana sangat padat dan sesak. Label diskon membuat daya tarik tersendiri. Kuamati, rata-rata pengunjung berburu baju untuk dikenakan pada hari raya. Seperti kataku tadi di awal, sebagian banyak masyarakat tetap memprioritaskan pakaian lebaran.
Aku berkeliling mencari gamis, beberapa kali memilih dan membandingkan dengan toko lain. Lalu, ujung-ujungnya kembali ke toko awal. Panas dan lelah mulai kurasakan. Lalu, secara kebetulan aku bertemu dengan teman kerjaku.
“Hei! Belanja juga?” tanya Siska. Aku memang mengenalnya, tetapi tidak terlalu dekat karena beda bagian dan ruangan.
“Iya, sekalian aja mumpung pulang kerja masih sorean.”
Siska kemudian mengajakku istirahat sejenak. Karena aku pun memang merasa capek, tidak ada salahnya untuk menyetujui ajakan Siska.
“Kamu puasa enggak, Na?” tanya Siska.
Belum juga kujawab pertanyaannya, langkah Siska yang mengajakku beristirahat ternyata menuju lapak tukang bakso.
“Kalau enggak puasa, ayo, kita ngebakso di sini!” ajak Siska setengah berbisik.
“Aku puasa, Sis.” Buru-buru aku menyela.
“Aduh, maaf, Na. Aku pikir kamu enggak puasa. Kalau kamu duduk istirahat di antara orang-orang yang makan, enggak apa-apa? Aku yang enggak enak jadinya.”
“Aku pulang aja, deh, Sis. Udah enggak terlalu capek, kok.” Aku pamit kepada Siska.
Aku tahu ada beberapa uzur yang memperbolehkan kita membatalkan puasa dan menggantinya di lain waktu. Aku hanya merasa sedikit miris saat sempat melihat temanku yang laki-laki turut makan di dalam sana.
“Beneran, kamu mau pulang?” tanya Siska memastikan.
“Iya.” Aku mengangguk. “Lagian, barang yang aku mau, udah kubeli.” Sedikit kuangkat paper bag, menunjukkannya kepada Siska.
Siska mengangguk-angguk. Aku pamit kepadanya, juga kepada teman-temanku yang ada di lapak pedagang bakso. Sementara itu, aku tersenyum sealami mungkin, mereka justru terlihat tersenyum kaku.
Aku menyudahi belanjaku. Kuhirup udara dalam-dalam sebelum memutuskan untuk pulang. Sejujurnya, ini bukan kali pertama aku melihat mereka minum atau menyesap rokok di siang hari. Aku sempat mengadukannya kepada Ibu. Beliau hanya tersenyum dan menyampaikan sepenggal makna dalam surat Al-Baqarah ayat 139, “Bagi kami amalan kami, bagimu amalanmu.”