Jemaah Tarawih Gokil

Jemaah Tarawih Gokil

Oleh Hujaziyah Ta’mal

Tahun 2019 silam, saya menjalankan puasa Ramadan di pondok bersama santriwati lainnya. Entah malam Ramadan yang ke berapa, saya dan teman-teman sudah rapi berbalut mukena menyambut azan Isya. Biasanya, sebelum kami masuk ke tempat ibadah—majelis, ibu-ibu sudah memenuhi tempat itu. Alhamdulillah, malam itu para wanita sepuh sudah menggelar sajadahnya. Saya dan santri lainnya pun melakukan hal yang sama setiba di sana.

Sekian detik, bau menyengat hadir, membuat seluruh jemaah Tarawih hampir muntah. Kami menyadari bahwa bau itu berasal dari bangkai yang diperkirakan wujudnya ada di bawah lantai yang sedang kami duduki. Pada tahun itu, majelis pondok masih berdesain panggung.

Seluruh jemaah berpikir keras, bagaimana cara menghindari bau itu. Akhirnya, kami berinisiatif memundurkan saf karena tak ada cara lain selain itu. Setelah dirasa bau bangkai tidak tercium, kami pun langsung menunaikan salat Isya berikut sunahnya. Posisi kami semua saat itu berdesakan sehingga hanya ada celah beberapa senti antara imam dan makmum. Kebetulan, saat itu saya yang menjadi imam.

Beberapa rakaat salat Tarawih berjalan lancar. Saya juga merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, baik dari segi pengucapan, gerakan, dan penciuman. Namun, pada saat saya akan bangkit dari sujud kedua rakaat pertama yang ke sekian kalinya, bokong saya menubruk kepala seseorang. Dia adalah makmum yang berada tepat di belakang saya. Alhasil, dia terjungkir balik, diikuti latah yang sangat menggelikan. Terdengar juga dia sempat tertawa. Namun, anehnya, dia tetap melanjutkan salat walaupun sebenarnya salatnya sudah batal.

Saya berusaha sekuat tenaga menahan tawa. Sungguh, saya benar-benar kesulitan melafalkan bacaan salat yang harus jelas makhrajnya dengan suara agak keras agar terdengar oleh makmum. Hasilnya, suara saya bergetar karena terus mengingat kejadian tadi.

Bayang-bayang itu terus berlanjut sampai tahiyat akhir. Saya tidak tahu, salat itu benar atau tidak, yang ada di pikiran saya saat itu hanyalah bagaimana salatnya agar tidak batal.

Usai mengucap salam, derai tawa pun menggema di ruangan tersebut. Saya segera menghambur menuju wanita paruh baya tadi, meminta maaf berkali-kali bahwa yang saya lakukan memang unsur ketidaksengajaan.

Dia pun berkata dalam bahasa Sunda, “Tidak apa-apa, Neng. Emak juga maklum, Emak hanya kaget.”

Karena merasa tak enak, saya pun meminta maaf lagi.

“Tidak apa. Katanya, jika mengalami kejadian tadi, kita akan menjadi orang besar,” ucapnya lagi.

Saya menautkan alis untuk beberapa detik, antara percaya atau tidak. Sampai saat ini, ucapan itu belum terungkap juga.

Pada tahun 2021 dengan bulan yang sama, tempat yang sudah berbeda, jemaah Tarawih pun makin bertambah dan berbeda pula.

Sejak bulan Ramadan itu, santri lainnya selalu menjuluki ibu-ibu yang memiliki kepribadian lucu dan aneh saat Tarawih. Ada beberapa panggilan dari santri untuk mereka yang tergolong lucu, salah satunya Mak Gaun dan Mak Kembung. Bukan tanpa alasan mereka memberi nama itu. Alasan disebut Mak Gaun adalah karena ibu itu selalu mengenakan gaun panjang sebagai pengganti rok mukenanya. Akan tetapi, itu hanya sebagai julukan, tidak berniat menjelekkan ataupun sebagainya.

Nah, untuk Mak Kembung, alasannya adalah dia selalu mencegah orang-orang yang ingin menghidupkan kipas angin atau menyuruh mematikan kipas yang sudah menyala. Dia bilang, “Ibu selalu kembung jika terkena angin.”

Sebagai seorang santri, kami sudah terbiasa menerima makanan pemberian orang lain. Eits, bukan berarti kami kelaparan atau lainnya, kami ingin bertukar pahala saja.

Malam pertengahan Ramadan, Mak Kembung memberikan kami gorengan. Mak Kembung adalah orang yang rajin memberi kami makanan untuk camilan meskipun banyak ibu lain yang juga terhitung rajin. Kami pun menerimanya dengan semringah. Dia pun tak kalah senang saat makanannya diterima dengan baik. Saat itu juga, dia meminta kami untuk mendoakannya.

Mak Kembung pun mengutarakan perasaannya. “Doakan supaya Ibu sehat,” katanya sendu.

Kami pun ikut sedih mendengar ucapannya. Terlebih ketika melihat fisiknya yang sudah tua. Sebagai bentuk peduli, kami pun mengaminkan.

“Mudah-mudahan dipanjangkan umur,” katanya lagi.

“Amin.” Kami menjawab serempak.

“Ditambah rezeki.”

“Amin.”

“Ibu, mah, sebatang kara.”

“Amin.”

Untuk beberapa saat, kami terdiam dan saling pandang. Kemudian, kami tergelak bersamaan menyadari telah mengaminkan yang jelas-jelas bukan harapannya. Maafkan kami, Mak Kembung!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *