Tentang Rindu
Oleh Eka Aida Yulianti
“Bunda mulai cicil beres-beres, ya, Sayang. Minggu depan, insyaallah, kita pindahan.” Lelaki 37 tahun itu menghampiriku yang sedang menyuapi si kecil.
Aku mendongak, memandang lekat wajah laki-laki yang telah sepuluh tahun menjadi imamku.
“Beneran, Bi? Jadi, puasa ini kita di Pringsewu?” tanyaku memastikan. Rasanya berat ketika Ramadan harus jauh dari keluarga.
Ia tersenyum, lalu mengangguk sambil membelai puncak kepalaku. Ah, semoga saja ini adalah keputusan terbaik dari Illahi.
Sudah sepuluh tahun kami mengarungi bahtera perkawinan. Dalam rentang waktu itu, kami lebih sering terpisah. Aku di Gisting, ia di tempat tugasnya di kabupaten sebelah, Pringsewu. Berat? Tentu saja! Apalagi, aku harus mengurus tiga bocah seorang diri.
Ada banyak pertimbangan mengapa sampai satu dasawarsa kami tak tinggal di rumah yang sama. Selain karena rumah yang kami bangun terletak di Gisting, orang tuaku berharap, aku sebagai anak perempuan satu-satunya bisa tetap berada di dekat mereka. Suamiku pun sudah mengusahakan mutasi. Namun, berkali-kali pengajuan, kepala sekolah tempat lelaki hebat itu mengabdi belum jua memberikan rekomendasi.
Dengan musyawarah yang kami lakukan beberapa kali hingga Istikharah yang tak henti, akhirnya kami memutuskan untuk pindah, meninggalkan istana kecil yang telah kami bangun, juga keluarga besar yang begitu penyayang. Sedih, tentu saja. Namun, bukankah keluarga harus tetap menjadi yang utama?
Ada tiga perempuan kecil yang mendamba luapan sayang dari pemantik cinta pertamanya. Ada ikatan yang harus tetap dijaga, sebuah ibadah paling lama. Ada suami yang membutuhkan pelayanan istri. Ada istri yang butuh cinta, kasih sayang, juga untaian kata penyemangat dari suami. Semua harus dijaga.
“Tapi, Bi, enggak bisa setelah Idulfitri aja?” Begitulah harapanku.
Sekali lagi, aku hanya memastikan. Selama ini ia selalu mengambil keputusan dengan memikirkan banyak hal. Kalau lelaki yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah di tempatnya mengajar itu sudah mengambil keputusan, tak perlu lagi kupertanyakan alasannya.
Ia hanya tersenyum, lagi-lagi sambil tangan kanannya membelai ujung jilbabku. Sesekali ia mengajak bermain si kecil yang masih mengunyah makanan.
“Bismillah, insyaallah, nanti Bunda mulai cicil,” ujarku sembari melengkungkan bibir.
Sesuai waktu yang telah ditentukan, kami pun meninggalkan kota kelahiranku dengan perasaan yang tak terlukiskan, sedih juga bahagia. Sedih karena harus berpisah dengan mereka-mereka yang kami takzimi, bahkan melewati bulan mulia tanpa kehadiran orang-orang tercinta. Bahagia karena akhirnya kami bisa bersama.
Sebulan di rumah baru, Ramadan pun menyapa. Entah mengapa bulir bening seringkali datang tiba-tiba. Walau baru saja berpisah dalam hitungan hari, kerinduan akan Ibu dan Bapak makin tak berjeda. Kerinduan saat mengantar makanan untuk berbuka, Tarawih bersama, menikmati sahur dengan balutan cinta, serta meminta doa-doa mereka.
Ah, Pak, Bu, Ramadan adalah bulan penuh cinta. Ini selalu mengingatkanku kepada kalian yang selalu mencurahkan cinta tanpa jeda. Semoga seperti halnya kalian, Allah akan mampukan kami menjadi orang tua yang selalu berlimpah cinta sehingga Dia menghimpun kita dalam surga karena telah saling mencintai karena-Nya.
Pak, Bu, Ramadan adalah bulan penuh pengampunan. Ini mengingatkanku pada kalian yang stok maafnya seolah-olah terbentang luas tak terbatas. Kata maaf yang belum sempat kami ucap selalu didahului dengan munajat panjang di sepertiga malam, menyebut nama kami, anak-anakmu, satu per satu. Seperti halnya kalian, semoga Allah akan mampukan kami menjadi orang tua pemaaf.
Pak, Bu, semoga kalian selalu sehat, selalu dalam naungan cinta Sang Mahacinta. Dua Ramadan ini benar-benar harus kami lalui dengan mandiri. Semoga seperti tulusnya cinta kalian kepada kami, Ramadan akan membawa kami pada cinta sejati Illahi Rabbi.
“Kok, nangis aja? Kenapa?” Suamiku tiba-tiba datang mengejutkan. “Kangen Bapak dan Ibu?”
Dengan mata yang dipenuhi bening kristal, aku mengangguk.
“Insyaallah, besok kita silaturahmi, ya. Buka puasa di sana. Bunda siapkan apa-apa yang mau dibawa,” titahnya seraya melangkah meninggalkanku menuju masjid.