Banjir Pasang di Bulan Ramadan

Banjir Pasang di Bulan Ramadan

Oleh Sury Hulwa

Ramadan 1442 Hijriah menjadi Ramadan terberat bagiku. Karena di tahun itu, aku harus menjalani puasa jauh dari suami dan kedua putriku. Tugas di wilayah pesisir—di kota Aek Kanopa—membuatku harus menitipkan kedua buah hatiku kepada neneknya, ibu kandungku.

Sementara itu, suamiku harus tetap bertahan di Medan karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kondisi jalan yang rusak dan jarak tempuh yang sangat jauh ditambah dengan kondisiku yang tengah hamil besar, tidak memungkinkan untuk membawa mereka ke tempat tugas.

“Kak, cari takjil, yok!”

Seruan Dwi—teman di kos-kosanku—membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru menyeka air mata yang menetes tiba-tiba, kemudian menoleh ke arah Dwi.

“Ayo!”

Kami berkeliling mencari makanan. Banyak pedagang yang menjual menu berbuka khas Melayu di sini. Setelah membeli aneka gorengan, aku mengajak Dwi untuk singgah membeli anyang daun buas-buas dan bubur pedas.

“Wah, ada Bu Agama. Mau beli apa, Ibu?” sapa Nek Ina ramah.

Aku tersenyum dan menunjuk menu yang kuinginkan. Sambil membungkus makanan, Nek Ina bertanya, “Udah berapa bulan itu hamilnya, Bu Agama?”

“Alhamdulillah, udah masuk sembilan bulan, Nek.”

“Pantes, udah besar kali. Sehat-sehat, ya, Ibu.”

Aku menanggapi ucapannya dengan anggukan.

Ketika menyerahkan pesanan, dia kembali berucap, “Oh, iya, biasanya setiap pertengahan Ramadan, di sini selalu ada pasang koling, Bu Agama. Ini Nenek kasih tau biar Ibu enggak kaget kalo nanti ada banjir besar datang.”

Aku melongo sesaat mendengar ucapan beliau, kemudian mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Semenjak berada di sini, aku sering melihat air laut naik, pasang namanya. Namun, biasanya hanya memenuhi jalan di depan kos-kosan. Belum pernah air masuk sampai ke rumah.

***

Hari ini hari ke-17 Ramadan, cuaca mendung sejak pagi. Aku mulai khawatir, teringat dengan ucapan Nek Ina. Kekhawatiranku makin besar ketika hujan deras turun sesaat setelah azan Asar berkumandang. Rasa waswas membuatku dan Dwi berulang kali mengintip dari jendela.

“Kita beresin aja barang-barang kita, Dwi! Takutnya, air beneran masuk rumah,” ucapku seraya beranjak menuju kamar.

“Oke, Kak.”

Aku mulai membereskan barang-barang dan meletakkannya di tempat yang lebih tinggi. Hal yang sama juga dilakukan Dwi.

Benar saja, beberapa saat kemudian, air laut mulai naik menggenangi jalan. Air yang biasanya berhenti di sebatas jalan, kini terus merangkak naik dan mulai menyentuh lantai teras rumah ibu kos-kosan yang posisinya tepat di depan rumah kami. Perlahan namun pasti, air berhasil merayap masuk ke rumah melalui celah-celah pintu.

Aku dan Dwi hanya bisa duduk pasrah menyaksikan air masuk tanpa permisi. Belum ada yang bisa kami lakukan. Air terus mengalir memenuhi seluruh ruangan rumah hingga setinggi mata kaki. Anak gadis di depanku itu menatap khawatir ke arah perut besarku.

“Biar Dwi aja nanti yang nguras, Kak. Kakak duduk aja. Dwi takut Kakak kepeleset.”

“Enggak apa-apa, pelan-pelan nanti Kakak bantu,” jawabku seraya mengelus perut.

Usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan membuat gerakku terbatas. Aku juga harus hati-hati agar tidak tergelincir di tengah banjir.

Setelah menunggu sekitar satu jam lebih, akhirnya banjir mulai surut. Kami bersiap-siap mengeluarkan air yang menggenang di dalam rumah. Tidak cukup dengan menguras saja, kami juga harus menggosok lantai karena air yang masuk membawa lumpur. Dengan menggunakan sapu karet, kegiatan menguras pun dimulai dari kamar masing-masing, kemudian berlanjut ke seluruh ruangan.

Kondisi kepala janin yang sudah masuk panggul menyebabkan rasa nyeri jika terlalu banyak beraktivitas. Hal ini membuatku harus berulang kali berhenti untuk istirahat sejenak saat menguras banjir.

Lantunan ayat suci mulai berkumandang, sebagai penanda waktu berbuka akan segera datang. Di sela-sela kesibukan menguras, Dwi memasak air untuk menyeduh teh.

“Kita buka puasa pakai teh manis aja, ya, Kak.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Tidak lama kemudian, beduk Magrib pun berbunyi. Kami menghentikan kegiatan menguras sejenak. Air sudah berhasil dikeluarkan, tinggal mengepel saja agar lantai tidak terlalu basah dan licin.

Perutku terasa nyeri. Aku berhenti dan meminta Dwi untuk menyelesaikan bersih-bersih rumah. Kucoba meredakan rasa nyeri dengan mandi.

Anak gadis itu menyelesaikan semuanya tepat saat azan Isya berkumandang. Lantai yang tadinya berwarna cokelat, kini sudah bersih dan berkilap. Jika dilihat saat ini, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Semua sudah tampak rapi dan bersih seperti sediakala.

Malamnya aku tidak bisa tidur nyenyak. Rasa nyeri akibat kelelahan membuat mataku sulit terpejam. Tanpa terasa, air mata ikut meleleh membasahi bantal. Sekelebat mata, bayangan wajah suami dan kedua putriku hadir.

Aku harus kuat. Allah memberi ujian ini karena aku mampu melaluinya. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan yang mengiringinya. Aku bermonolog seraya menyeka air mata yang terus mengalir.

***

Keesokan paginya rasa sakit itu masih mendera. Dengan tertatih aku berangkat mengajar. Tidak kuhiraukan rasa sakit itu dan mencoba menggantinya dengan asa mendidik anak bangsa agar menjadi insan berguna.

“Nanti sore siap-siap lagi, Bu. Air pasang bakalan datang lagi kayak semalam. Bahkan, bisa jadi hari ini lebih besar lagi,” ucap Bu Ade, salah satu teman mengajarku.

“Haaah! Lagi?” Mataku terbeliak. Aku hanya bisa terduduk pasrah di bangku siswa.

***

 

𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶. 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘩 𝘈𝘭-𝘐𝘯𝘴𝘺𝘪𝘳𝘢𝘩: 𝙁𝙖 𝙞𝙣𝙣𝙖 𝙢𝙖’𝙖𝙡 ‘𝙪𝙨𝙧𝙞 𝙮𝙪𝙨𝙧𝙖. 𝙄𝙣𝙣𝙖 𝙢𝙖’𝙖𝙡 ‘𝙪𝙨𝙧𝙞 𝙮𝙪𝙨𝙧𝙖.

“𝙈𝙖𝙠𝙖 𝙨𝙚𝙨𝙪𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙨𝙚𝙧𝙩𝙖 𝙠𝙚𝙨𝙪𝙡𝙞𝙩𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙚𝙢𝙪𝙙𝙖𝙝𝙖𝙣. 𝙎𝙚𝙨𝙪𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙨𝙚𝙧𝙩𝙖 𝙠𝙚𝙨𝙪𝙡𝙞𝙩𝙖𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙚𝙢𝙪𝙙𝙖𝙝𝙖𝙣.”

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *