Puasa di Kampung Pulorida
Oleh Rida Oktaviani
Sebentar lagi waktunya pulang kerja. Tiba-tiba ponselku bergetar, tanda ada pesan yang masuk.
[Mbak Ani, hari ini kita jadwal kolak keliling, ya.]
Sebuah pesan dari seorang teman yang mengingatkanku untuk kegiatan berbuka nanti sore di musala.
[Iya, jam setengah lima kumpul di musala, ya.]
Lima belas menit berlalu, aku pun bersiap untuk pulang. Dengan mengendarai sepeda motor, aku pun pulang ke rumah. Jarak dari tempat kerja dengan rumahku terbilang dekat, hanya sekitar sepuluh menit perjalanan.
Aku mengucap salam dan segera masuk ke rumah.
“Wa’alaikumus-salam, kok, buru-buru? Kenapa, An?” tanya ibuku.
“Mau kumpul di musala, Bu. Ini jadwal Ani keliling ambil kolak. Ibu udah bikin takjil?”
“Sudah Ibu siapkan. Kamu cepat mandi sana, nanti telat!” seru Ibuku sembari berjalan ke depan.
Aku pun bergegas membersihkan diri, salat, kemudian berangkat ke musala dekat rumah.
“Asalamualaikum, Winda!” seruku.
“Wa’alaikumus-salam,” jawab Winda. “Mbak Ani, kita sapu musala dulu biar nanti dipel sama Didi dan Firman,” sambung Winda.
Aku segera mengambil sapu, begitu pun Winda. Kami membagi wilayah agar menyapu cepat selesai karena Firman sudah datang. Saat melihat kami sedang menyapu, Firman menunggu di halaman musala sembari menyiram tanaman.
“Winda sama Mbak Ani enggak keliling ambil kolak?” tanya Firman setelah melihat kami selesai menyapu.
“Iya, ini mau berangkat,” jawab Winda.
“Didi mana, Fir?” tanyaku heran karena Didi belum terlihat.
“Masih di bengkel, Mbak. Sebentar lagi sampai,” jawab Firman.
Akhirnya, aku dan Winda—dengan masing-masing membawa baskom—berangkat keliling ke rumah-rumah yang ada di Kampung Pulorida untuk mengambil kolak. Nantinya kolak tersebut akan dipergunakan untuk berbuka puasa bagi jemaah Musala Al-Aziz.
Kebiasaan kolak keliling sudah berjalan lama setiap Ramadan. Awalnya takjil tersebut dimasukkan begitu saja ke baskom yang dibawa oleh pemuda atau pemudi yang bertugas hari itu. Namun, berkat saran warga, akhirnya setiap warga yang memberi takjil dimasukkan ke kantong plastik supaya tidak tercampur.
“Mbak, kita muter dari rumah-rumah yang ada paling belakang dan ujung, ya,” kata Winda.
“Iya, Win, biar lebih gampang muternya.” Aku mengikuti langkah Winda.
“Enggak capek, Mbak, pulang kerja langsung keliling begini?” tanya Winda lagi.
“Capek, tapi aku seneng sama kegiatan begini, puasa lebih berasa meriah. Kalau suatu saat udah enggak ada tradisi begini, kita bakalan kangen, Win,” ujarku menjelaskan.
“Iya, bener, Mbak.”
Ketika tiba giliran di rumahku, Ibu langsung mengambil takjil yang sudah disiapkan dan ternyata mendapat tambahan es melon jeli.
“Nanti tekonya bawa pulang, ya, An,” ucap Ibu.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Winda, sebentar, ya, aku lupa tadi bawa mukena.” Aku pun masuk ke rumah.
Ketika keluar dari rumah, ternyata beberapa tetangga sudah memberikan takjil kepada Winda.
“Alhamdulillah, enggak capek keliling. Kita langsung ke musala, Win,” ajakku.
“Iya, Mbak. Nanti beresin untuk buka di musala enggak sempet lagi.” Winda berkata sambil tertawa.
Aku dan Winda bergegas menuju Musala Al-Aziz. Ternyata, ketika kami sampai, musala sudah ramai oleh pemuda dan pemudi yang bersiap untuk menyiapkan acara buka puasa. Beberapa jemaah yang sengaja ngabuburit juga meramaikan musala. Mereka mengisi kegiatan ngabuburit dengan mengaji, sungguh tenang dan adem mendengarnya.
Waktu magrib pun tiba. Setelah berbuka, kami melanjutkan dengan salat Magrib berjemaah.
Aku izin pulang kepada teman-teman setelah selesai salat Magrib.
“Aku, izin pulang, ya. Nanti pas isya balik lagi,” pamitku.
“Iya, Mbak, dianterin enggak?” tanya Firman.
“Enggak usah. Kayak rumahnya jauh aja,” jawabku yang disambut dengan tawa renyah mereka.
Aku berjalan pulang dengan hati senang. Sesampainya di rumah, aku pun melanjutkan berbuka puasa bersama Ayah dan Ibu. Setelah itu, kami bersiap menuju Musala Al-Aziz untuk menunaikan salat Isya dan salat Tarawih.
Itulah suasana Ramadan yang selalu kurindu setiap tahunnya di Kampung Pulorida. Waktu terus berjalan dan masing-masing kami mulai menggapai mimpi.