Antara Banjarnegara, Wonosobo, dan Bekasi
Oleh Lek Dri (Badriatun)
Kala itu, sekitar tahun 2003, saat usiaku sekitar 12 tahun dan masih kelas 6 SD, aku pindah dari kota Banjarnegara menuju kota Wonosobo. Perbedaan suasana pada bulan Ramadan di kedua daerah tersebut sangat kentara sekali buatku. Kalau di kota Banjarnegara, tadarus Al-Qur’an hanya dilakukan bapak-bapak di malam hari selepas Tarawih. Di Banjarnegara juga ada adat bernama likuran, yakni adat berbagi besek nasi dan lauknya pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir. Dengan kata lain, warga berbagi pada malam Lailatulkadar yang masih dipercaya ada satu malam spesial pada setiap tahunnya. Untukku yang jarang makan dengan lauk berbau amis, tentu ini menjadi penambah semangat kala itu.
Berbeda ketika di Wonosobo, tradisi likuran tidak ada, diganti dengan malam khatmil Qur’an, yakni malam untuk khataman peserta tadarus Al-Qur’an. Biasanya, acara tersebut diadakan pada malam ke-27 yang diisi dengan acara pembacaan beberapa surat-surat pendek terakhir dalam Al-Qur’an. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan acara makan bersama, yaitu nasi kuning beserta ayam ingkung—ayam kampung yang dimasak secara utuh tanpa jeroan. Untuk sumber dananya, dahulu patungan dari anak-anak yang bertadarus. Kalau sekarang, patungan semua warga setiap kepala keluarga.
Di Wonosobo ada dua sesi tadarus Al-Qur’an, yakni selepas salat Asar—dikhususkan untuk anak-anak—dan selepas Tarawih—diawali oleh anak-anak dan dilanjut dengan yang lebih dewasa.
Persamaan pada kedua waktu itu adalah ada takjil sebagai penyemangat kami, para bocah-bocah yang kadang bosan dengan menu di rumah. Biasanya, takjil selepas tadarus salat Asar akan kami bawa pulang. Pembuat takjil ini biasanya berurutan dari rumah paling ujung selatan hingga ke ujung utara, lalu ke belakangnya karena memang rumah kami terlihat berbaris di pinggir jalan desa.
Selain itu, banyak pemuda dari RT sebelah yang melakukan tadarus keliling, membaca beberapa mushaf Al-Qur’an, lalu nimbrung mencicipi takjil. Setelah itu, pemuda tadarus keliling ini kembali mencari musala atau masjid lain dan akan melakukan hal yang sama. Bahkan, untuk yang sudah menginjak usia dewasa, mereka melakukannya sambil mencari calon.
Ada juga cara membangunkan sahur yang unik. Untuk yang satu ini, tentu hampir sama, menabuh kentungan bambu atau panci dan alat-alat dapur untuk mengiringinya. Mereka yang bertugas membangunkan sahur, berkeliling sambil selawatan dan berteriak, “Sahur … sahur!”
Adapun rutinitas bapakku, baik di Banjarnegara ataupun di Wonosobo, adalah mendatangi musala atau masjid terdekat, lalu membangunkan lewat mikrofon dan berkata, “Ibu-ibu, Bapak-bapak, ingkang dereng wungu, kulo aturi wungu, ingkang dereng saur, kulo aturi saur. Wekdal sak meniko sampun jam sekawan kirang gangsal menit. Sahur… sahur! ” (Ibu-ibu, Bapak-bapak, yang belum bangun, saya persilakan bangun, yang belum santap sahur, saya persilakan santap sahur. Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul empat kurang lima menit. Sahur … Sahur!)
Sekarang ketika beliau tidak pulang kampung karena pandemi, banyak sekali yang kehilangan alarm Bapak.
Sementara itu, di kota Bekasi ini, takjil dan tadarus dilakukan secara sukarela saja, membangunkan sahur juga ada dari anak-anak remaja yang berkeliling menggunakan hadro. Akan tetapi, Bapak tak lagi mengisi alarm musala atau masjid terdekat.
Untuk acara selepas subuh, sewaktu aku masih di Banjarnegara diisi dengan jalan-jalan pagi, selesai mendengar kuliah subuh tentunya. Kuliah subuh ini berisi materi khotbah seputar Ramadan.
Hal yang paling aku ingat ketika itu, Pak Kiai yang menjadi pembicara sering mengantuk dan kehilangan konsentrasi. Pada saat itu terjadi, dia akan berucap, “Nopo niku wau .…” (Apa itu tadi ….)
Itu malah menjadi jargon kami, para bocil nan tengil.
Sewaktu di Wonosobo, selepas kultum—kuliah tujuh menit, kami akan melakukan perang meriam bambu di bukit belakang desa yang memisahkan antara RT 09 dan RT 10. Ada juga yang memainkan petasan, lalu dilempar ke semak-semak atau area tengah bukit yang memang dikosongkan sebagai area bahaya perang. Bukit itu juga sering digunakan untuk trek motor trail pada pukul 14.00 sampai waktu asar tiba. Karena hawa di Wonosobo yang lumayan sejuk, tentu melakukan kegiatan pada pukul 14.00 itu tak terlalu panas.
Di Bekasi, selepas subuh adalah waktu yang tepat untuk ke pasar dan berbelanja. Ya, aku pindah ke Bekasi selepas menikah. Jadi, buat kaum emak-emak, selepas subuh adalah waktu berbelanja sebelum cuaca terasa panas dan tubuh menjadi lemas.
Jadi kepo Wonosobonya bagian desa mana 😅