Jilid Terakhir
Oleh Lvtyxa
Laptop ada dan camilan juga banyak. Bahan makanan yang akan diolah pun sudah tersedia. Sekarang aku tinggal tarik selimut dan memeluk si guling empuk. Kebetulan, jadwal jaga pondok pada waktu liburan kali ini hanya enam orang yang mengisi. Saat santri yang lain sudah di rumah, kami masih betah. Ingin pulang juga sebenarnya, apalagi di pondok sepi dan rasanya mengerikan, tetapi, ya, mau bagaimana lagi, ini tanggung jawab kami.
Aku dan teman-teman bangun sahur seperti biasa, makan dengan lauk yang sudah disediakan. Kemudian, kami salat Subuh berjamaah di masjid. Kali ini tidak ada jadwal mengaji, jadi kami boleh keluar dan sama sekali tidak merasa terbebani. Sebenarnya, kegiatan kami sama saja dengan yang sedang pulang, kan? Bedanya, kami harus sambil jaga dan selama bulan puasa tidurnya di asrama.
Ketika siang, setelah puas rebahan dan malas-malasan, berberes-beres pondok adalah tanggung jawab kami berenam. Air galon juga harus dipastikan ada. Jika sudah habis, kami harus pergi mengambil ke kompleks putra. Namun, karena butuh tenaga untuk mengambilnya, kadang kami memilih membeli ke warung saja.
Tugas kami berenam pun dibagi, ada yang ke rumah Pak Kiai untuk membantu di sana, ada yang bekerja di dapur untuk memasak berbuka puasa, dan ada juga bagian mencari jajanan setiap hari. Semua kami lakukan dengan senang hati. Kami sependapat, kapan lagi bisa seperti ini?
Ketenangan kami terganggu ketika seekor serangga masuk ke kobong, ikut bergabung di kasur yang tidak pernah digulung. Kami penakut semua dan serangga itu tidak juga mau diusir. Setelah berusaha dan tidak berhasil mengusir serangga itu, kami sepakat pindah ke lantai atas saja. Mumpung, para penghuninya juga sedang tidak ada.
Tiap-tiap kobong benar-benar kosong sehingga suasananya sunyi, biasanya sangat berisik. Sekarang semuanya kami lakukan bersama, buka puasa seadanya, tertawa di setiap waktu juga demi meramaikan suasana. Kadang kami kangen suasana rumah. Saat yang lain memakan masakan mamanya, kami hanya gundah menunggu waktu giliran pulang sampai yang jaga bagian dua datang.
Saat salah satu dari kami mencuci, pasti ditemani. Mandi pun kami tidak mau sendiri, setidaknya ada teman bicara. Jangan sampai di kamar mandi yang berjejer empat itu, hanya terisi satu. Jika tiba-tiba ada yang mengajak mengobrol, kan, lumayan bikin deg-degan.
Saat Tarawih, yang penuh hanya saf pertama, itu pun dikurangi dengan yang berhalangan dan ditambah dengan yang ikut datang demi membantu meramaikan. Maka dari itu, bulu kudukku kadang tiba-tiba meremang karena teringat film horor.
Tengah malam kami pindah ke balkon luas—tempatnya para santri menjemur pakaian—untuk memandangi langit, bintang, dan bulan.
Makin larut, dinginnya embun makin terasa dan kami pun mengantuk. Pada saat seperti itu, kami mengolah bahan makanan untuk sahur dengan ogah-ogahan.
Oleh sebab itu, pembagian jaga dibagi dua agar bisa bergantian ketika berjaga. Jika ada apa-apa, kami bisa membangunkan yang lain dan bisa istirahat bergiliran meski hanya sekejap. Akan tetapi, yang bikin kesal adalah kadang yang enak hanya di satu pihak.
Seperti itulah kegiatan kami selama berjaga.
***
“Hei, bengong mulu!”
Seseorang mengejutkanku saat aku sedang mengenang kejadian beberapa tahun yang lalu itu. Dia merangkulku dari belakang. Rasanya, baru kemarin kami berpuasa dan merayakan Lebaran di kampung orang. Raut wajahnya makin dewasa meski kadang lebih banyak menyebalkan.
“Jangan balik ke masa lalu. Tidak apa-apa kamu melupakan yang lain, asalkan aku tidak. Tetap jadi kamu yang aku kenal, ya!”
Bibirku tidak bisa menahan senyum. Dari kami berenam ketika itu, hanya dia yang paling dekat denganku juga paling suka membantu. Aku harap dia bukan hanya jadi pelengkap jilid terakhir ceritaku selama di asrama, tetapi juga menjadi teman yang selalu membawa kebahagiaan.
Sampai jumpa di lembar baru yang semoga penuh kejutan haru.