Sepotong Roti Terakhir
Oleh Menjangan Ketawan
Hatiku terasa ngilu mengingat kejadian kala itu. Sore yang begitu gelap. Rintik hujan mulai berjatuhan. Aroma petrikor menguar mengikut ke mana sang bayu bertiup. Udara dingin merayap menembus dinding kayu yang sudah mulai lapuk dimakan rayap. Aku mondar-mandir sembari sesekali mengecek layar ponsel yang sedang dalam genggaman, menanti notifikasi pesan dari Bang Arham. Sejak pagi ia belum berkabar sama sekali.
Terakhir kali kuingat, sebelum Bang Arham pergi, aku mengeluh kepadanya perihal beras di stoples yang stoknya sudah habis. Namun, lelakiku itu hanya bergeming.
“Aku mau keluar, cari kerjaan. Kamu di rumah sendiri tak apa, kan?”
Sontak mataku membeliak menatap Bang Arham. Bagaimana bisa ia tega meninggalkanku di rumah sendirian?
Saat itu, aku sedang hamil muda. Namun, tak ada makanan sedikit pun yang bisa dimasak ataupun dimakan di rumah. Seberat itukah ujian awal pernikahan? Aku ingin menahan Bang Arham, tetapi kuurungkan. Bagaimanapun, dapur harus terus mengepul. Terlebih ada tanggung jawab besar atas keberadaan satu nyawa yang sedang kukandung.
“Iya, Bang. Abang hati-hati. Jangan lupa berkabar!”
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh belas tiga puluh menit. Setengah jam lagi waktu berbuka akan tiba. Namun, Bang Arham belum juga menunjukkan batang hidungnya. Dinginnya udara yang berembus membuat asam lambungku naik. Perutku terasa mual. Aku bergegas berlari ke kamar mandi dan ….
Huek!
Cairan berwarna kuning bercambur bercak kemerahan tersembur keluar dari mulutku seiring dengan hentakan dari dalam perut. Keringat dingin mengucur deras membasahi badan. Napasku tersenggal.
“Bang Arham … kamu di mana, Bang?” ucapku lirih.
Dengan tangan gemetar kuambil ponsel yang terselip di saku daster, kemudian kutelepon Bang Arham. Nihil, tak ada jawaban sama sekali. Aku merasa putus asa.
Allahu Akbar … Allahu Akbar.
Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara azan, tiba waktunya berbuka. Dengan sedikit terseok-seok aku mencoba berjalan menuju ruang makan. Kuraih botol air mineral di atas meja, kemudian meneguknya. Dahaga di tenggorokanku hilang seketika, tetapi tidak dengan rasa laparku. Perutku masih berbunyi krucuk-krucuk.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, barangkali ada makanan ataupun camilan sisa kemarin yang bisa kumakan. Ternyata benar, aku menemukan sepotong roti tawar yang sudah mulai mengering, sisa sahur kemarin. Hatiku terasa sedikit lega. Setidaknya, aku masih punya pengganjal.
Kutatap nanar roti setengah kering yang saat itu kupegang. Aku teringat, dahulu sebelum menikah dengan Bang Arham, setiap bulan puasa, pasti di rumah banjir makanan, entah itu takjil ataupun makanan berat. Setiap waktu berbuka tiba, aku akan bingung memilih makanan mana yang hendak kumakan terlebih dahulu. Namun, aku tak menyana jika keadaan itu akan berubah drastis setelah menikah dengan Bang Arham.
Bang Arham anak yatim piatu. Sejak kecil ia sudah hidup mandiri. Namun, setelah menikah denganku, ia di-PHK oleh kantor tempatnya bekerja. Akhirnya, mau tidak mau ia harus menganggur sementara dan itu berimbas kepadaku. Mentalku terguncang. Terkadang, tebersit rasa ingin pisah karena aku merasa sudah tidak sanggup hidup serba kekurangan dengannya. Akan tetapi, pesan Bapak selalu menjadi penghalau rasa itu.
Dahulu, sehari sebelum aku dinikahkan dengan Bang Arham, Bapak berpesan, “Tidak ada pernikahan yang sempurna, Nduk. Menikah itu ibadah sepanjang masa. Selama kamu masih berstatus sebagai istri, selama itu juga kamu harus berbakti dan bersedia menemani suami, baik di masa suka ataupun duka, apa pun konsekuensinya. Andai kata Allah menghalalkan seorang hamba untuk bersujud kepada selain Dia, maka Allah akan memerintahkan untuk bersujud kepada suami masing-masing hamba-Nya, Nduk. Bersabarlah jika kamu mendapat ujian dalam berumah tangga. Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Hakikat menikah itu menahan, ngempet. Sama halnya dengan puasa. Jika puasa menahan lapar, nafsu, dan dahaga, menikah membuat kita menahan untuk tidak mengeluh atas kekurangan pasangan kita, menahan untuk tidak mengumbar aib pasangan kita, dan menahan untuk tidak menuntut di luar batas kemampuan pasangan kita. Jika kamu bisa menahan, insyaallah, seberat apa pun ujian yang menghadang, pernikahanmu akan baik-baik saja. Selamanya.”
Bulir bening sudah menganak sungai membasahi roti yang kupegang. Perlahan kumasukkan roti itu ke mulut. Lezat sekali rasanya.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan dari balik pintu.
“Asalamualaikum, Dek ….”
“Wa’alaikumus-salam.”
Ah, itu suara Bang Arham. Bergegas aku membuka pintu, ternyata benar. Seketika kusodorkan tangan untuk menyalaminya. Kulirik tangan kirinya yang sedang menggenggam plastik berwarna hitam, lalu bertanya, “Apa itu, Bang?”
“Maafkan Abang, ya, Dek. Abang hanya bisa membelikanmu ini untuk berbuka puasa,” ucapnya sembari mengeluarkan sebungkus cilok bumbu kacang kesukaanku. “Abang belum berhasil mendapatkan pekerjaan.”
Tak kuasa menahan haru, aku kemudian menghambur memeluknya.
“Tak apa, Bang. Kita makan sama-sama, ya.”
Sedih banget bacanya, di tunggu kisah2 lainnya yaa. Semangat. Bay the way bakal ada lanjutnya nggak, nihh.