Ramadan di Perantauan

Ramadan di Perantauan

Oleh Ike WL

Juli 2005 adalah kali kedua aku menginjakkan kaki di perantauan. Pulang hanya dua puluh hari, lalu aku kembali berangkat dengan bantuan pihak Disnaker, tentunya bekerja dengan perusahaan yang berbeda.

Turun dari kapal laut masih membuatku merasa tak seimbang. Setelah terombang-ambing di atas kapal selama dua hari satu malam, akhirnya aku tiba di Pelabuhan Sekupang,  Batam. Selanjutnya, kami—aku dan empat puluh temanku—menaiki bus milik perusahaan menuju Kawasan Industri Muka Kuning. Kami diturunkan di Dormitory Blok Q. Bangunan dengan tiga lantai ini diperuntukkan untuk tempat tinggal para pekerja yang berasal dari luar Pulau Batam.

Aku dan satu temanku tinggal di lantai dua Blok Q. Kami akan tinggal beserta empat belas teman lain yang sudah lama bekerja di perusahaan.

Waktu berlalu, setelah satu bulan bekerja, aku mulai resah. Raga ini merasa tidak bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaan, mungkin karena beban pekerjaan yang lebih berat daripada perusahaan yang sebelumnya. Oleh sebab itu, aku berencana kabur pada bulan kedua. Informasi harga tiket pesawat sudah aku ketahui.

Berita mengejutkan datang dari bapakku. Beliau terjatuh dan terserang stroke untuk yang kedua kalinya. Hatiku luluh lantak. Rasanya, tulang ini tak lagi kuat menahan beban tubuh. Akhirnya, kurelakan uang yang tadinya ingin dibelikan tiket pesawat. Uang itu aku kirim ke rumah untuk membantu biaya pengobatan Bapak yang harus dirawat di ruang ICU.

Aku melanjutkan bekerja meski dengan raga yang lelah luar biasa. Jika pulang kerja pukul empat sore, aku langsung tidur sampai magrib menjelang.

Demi berhemat, aku berjalan kaki saat pergi bekerja. Bukan aku saja, banyak teman yang juga berjalan. Namun, anehnya di mataku, mereka semua memakai hijab. Entahlah, mungkin benar seperti itu atau hanya perasaanku saja.

Suatu hari, pada bulan Ramadan, seorang teman mengajakku pergi menghadiri kajian di masjid. Ustaz berceramah mengenai kewajiban setiap muslimat untuk menutup aurat. Hatiku bergetar. Sungguh, aku jauh dari sempurna. Biasnya, aku berhijab jika menghadiri acara pengajian saja.

Sepulang dari kajian tersebut, aku dan temanku jalan-jalan di bazar yang diadakan di pelataran masjid itu. Aku membeli tiga lembar jilbab segi empat.

“Mbak, aku pengen pake jilbab sepertimu,” kataku kepada Mbak Hani setelah sampai di dormitory.

“Alhamdulillah!” pekiknya, lalu Mbak Hani memelukku. “Semoga istikamah.”

“Amin.”

Mbak Hani membuka lemari bajunya, di sana tampak setumpuk jilbab beraneka warna.

“Pilihlah satu, hadiah dariku,” kata Mbak Hani.

Hatiku senang sekali meski bukan jilbab baru yang dihadiahkan untukku. Mungkin saja, jilbab itu barang kesayangan Mbak Hani.

“Ada apa?” tanya temanku yang lain. Mungkin, dia tadi mendengar Mbak Hani memekik.

“Ini, Mbak Ike mau hijrah. Dia mau pake hijab seperti kita.” Mbak Hani berucap sambil tersenyum.

“Alhamdulillah,” kata Mbak Nina, temanku yang baru datang.

Mbak Nina memelukku sambil berkata sama persis seperti yang tadi diucapkan Mbak Hani, semoga istikamah. Lalu, gadis yang lebih tua empat tahun dariku ini menarik tanganku hingga sampai ke depan lemari baju miliknya.

“Ayo, pilih satu jilbab!” katanya kemudian.

Aku menarik satu jilbab polos warna cokelat muda. Lalu, Mbak Nina mendudukanku di sampingnya. Gadis manis asal Malang ini menarik tanganku, kemudian memperhatikan setiap kuku jariku yang sedikit panjang.

“Sekarang jangan panjangkan kukumu!” kata Mbak Nina. Dia kemudian mengambil gunting pemotong kuku dan mulai memotong kuku jari tanganku.

Ya, Allah, aku jauh dari keluarga, tetapi telah engkau ganti dengan teman-teman yang luar biasa. Terima kasih, batinku.

“Mbak Ike mau enggak, belajar ngaji bareng aku?” kata Mbak Hani.

“Di mana, Mbak?”

“Di pondok. Tempatnya ada di luar pagar belakang Blok R. Kalau masuk pagi, ngajinya malam. Kalau masuk malam, ngajinya pagi.”

“Bayar berapa, Mbak?”

“250 ribu.”

“Em … bulan depan aja, Mbak,” kilahku karena uangku tak cukup.

“Ya, udah.”

***

Pukul empat sore aku sudah pulang kerja. Karena masih dalam rangka berhemat, aku memutuskan berjalan kaki bersama Anisa, temanku.

“Mbak, kenapa mukanya ditekuk gitu?” tanya Anisa.

“Ibu minta kiriman, tapi, kan, belum gajian. Bapak harus nebus obat.”

“Butuh berapa, Mbak?”

“750 ribu.”

“Pakai uangku dulu, mau enggak? Enggak harus bulan depan balikinnya.”

“Beneran, Nis? Kalau pinjem satu juta, boleh enggak? Sekalian mau buat daftar ngaji.”

“Boleh, Mbak. Kita mampir ke ATM sekalian, yuk!”

Ya, Allah, sungguh Engkau Mahabaik. Aku bertemu lagi dengan teman yang mau membantu.

Malamnya, sepulang dari salat Tarawih, kupandangi langit yang dipenuhi gemerlap bintang.

Ya, Allah, inikah malam Lailatulqadar? Diri ini masih terlalu hina jika mengharapkan anugerah besar itu. Namun, Ramadan kali ini terasa begitu indah untukku. Terima kasih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *