Kangen
Oleh Cahya
Aroma teh langsung tercium bersama dengan kepulan asap yang berhamburan keluar dari dalam gelas kaca yang tengah kupegang. Dengan langkah tanpa semangat aku berjalan ke tempat yang biasa kupakai untuk makan.
Ini adalah hari pertama puasa tahun ini, sedikit berbeda dengan tahun kemarin. Semuanya kulalui sendiri, seperti sekarang. Menonton televisi jadi jalan untukku agar tak begitu merasa kesepian walau ujung-ujungnya benda persegi itu menontonku yang tengah makan.
Tok-tok!
Siapa yang bertamu jam segini? Dengan malas kubuka pintu yang langsung menampilkan wajah Rosalinda dengan muka bantalnya. Pasti baru bangun, kebiasaan!
“Apa? Ganggu, tahu enggak?” tanyaku to the poin.
“Mau ikut makan, boleh? Kalau masak, takut keburu imsak, tadi bangunnya kesiangan.” Rosa menyengih, lalu masuk ke kamarku tanpa disuruh dahulu.
Berasa kamar sendiri atau bagaimana, sih?
“Wah, Caca tumben masak banyak? Tahu banget kalau ada yang mau ikut makan,” ucap Rosa gembira.
“Dih, percaya diri banget kamu!” Kututup pintu dengan perasaan kesal, lalu melanjutkan acara makan yang tadi tertunda.
Rosalinda—yang biasa disapa Rosa—makan dengan damai. Dia enggak cuci muka atau cuci tangan? Main langsung makan saja.
“Apa lihat-lihat, mau?”
Aku menggeleng melihat Rosa yang menyodorkan tangan berisi gumpalan nasi dan potongan tempe goreng buatanku.
“Ogah, lu belum cuci tangan. Jorok!”
“Heh! Sok tahu Anda!” Rosa mulai emosi, mana pakai acara ngegas segala.
Dengan malas aku mendengarkan ceritanya, dari yang katanya begadang menonton drama Cina, terus bangun kesiangan. Rosa mengaku sudah mencuci wajah dan tangan sebelum ke kamarku.
Duh, berarti aku sudah suuzan!
“Eh, jadi kangen sama masakan Emak. Biasanya, kalau sahur tinggal makan, sekarang harus menyiapkan sendiri.”
Aku mengangguk sambil membereskan piring kotor dan sisa lauk, lalu kusimpan di sudut kamar. Cuci piringnya nanti saja.
“Mana tahun ini enggak boleh mudik. Gila, sih, ini pemerintah! Mereka enggak tahu, aku kangen Emak sama Abah,” katanya kesal, lalu meminum teh yang tadinya tengah kubiarkan agar dingin.
Kok, malah dia yang minum?
“Ya, sudah, mau bagaimana lagi? Sudah keputusan pemerintah, kita bisa apa?” Kuminum air mineral di botol, tadinya mau minum teh. Sayangnya, telat karena keburu diminum anaknya Abah Sukri. Enggak tahu diri memang!
“Mana makin parah lagi, korbannya makin banyak. Lihat, tuh!” tunjuk Rosa ke layar televisi yang menampilkan jumlah korban akibat virus yang tengah jadi pembicaraan banyak orang saat ini. Padahal, aku baru mau menonton acara lain.
“Ganti, Ros! Bosan lihat berita.” Kuambil remot di tangan Rosa dengan sedikit paksaan. Aku santai saja. Kan, ini televisi bukan punya Rosa.
“Pelit!” Rosa beranjak pergi dari kamarku. Sambil mengentakkan kakinya, ia juga membanting pintu kamar lumayan keras.
Dasar bocah! Enggak tahu diri! Sudah dikasih makan, masih sempat mengatai pelit!
Aku tersenyum. Kalau dipikir-pikir, Rosa orangnya ternyata cukup menyebalkan. Akan tetapi, kalau enggak ada dia, pasti sepi. Aku hafal sekali sama kelakuan dia karena kami sudah berteman dari jaman biru-putih. Awet juga ternyata.
“Ca, Caca! Nonton drama Cina bareng, yuk!” ajak Rosa sambil menunjukkan dramanya di laptop yang ia bawa.
“Enggak suka roman,” ucapku menolak tawaran Rosa.
Rosa manyun, lalu langsung rebahan di tempat tidurku, menonton acaranya sendiri.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi pertanda waktu imsak sudah dimulai, lalu disusul dengan azan yang berkumandang beberapa menit setelahnya. Segera kulaksanakan kewajiban sebagai umat muslim bersama dengan Rosa. Iya, dia menumpang salat di kamarku.
***
Kututup mata sebentar, lalu membukanya kembali, tak lupa menguap panjang. Setelah melaksanakan salat tadi, aku memilih tidur sebentar dengan Rosa juga tentunya.
“Bangun! Enggak berangkat kerja lu?” Kugoyangkan badan Rosa dengan pelan, sedangkan sang pemilik badan hanya merespons dengan anggukan, lalu menarik selimut dengan motif gambar panda yang lucu.
“Terserah! Nanti terlambat, terus gaji kamu dikorting, mampus!”
Segera kuambil langkah dan masuk ke kamar mandi. Aku tak peduli dengan suara ribut Rosa yang mengumpat karena baterai laptopnya yang habis. Sudah bangun ternyata.
***
“Mah, ayo, sahur!” Aku terkejut sejenak, lalu menatap pelaku yang hampir membuatku jantungan.
Dira, putri kecilku yang mulai beranjak dewasa. Kami berjalan menuju meja makan yang telah tersedia beberapa lauk. Terlihat dengan jelas lelaki yang berstatus sebagai suamiku, Amir, tengah menyesap kopinya dengan damai, lalu tersenyum hangat menatap kami.
“Mamah tadi melamun, ya? Terus, Rosa itu siapa?”
Aku memilih tersenyum, lalu menyiapkan nasi dan lauk ke piring untuk Amir dan Dira, mengabaikan pertanyaan gadis berambut sebahu itu.
“Kangen banget sama Rosa, ya?” Amir tersenyum dan menerima piring berisi makanan yang kuberikan.
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Amir dan mulai menikmati makanan. Sesekali aku tersenyum begitu mendengar celoteh Dira.
Rosa, sekarang kamu apa kabar? Kapan pulang? Virusnya sudah enggak separah tahun lalu. Ah, jadi kangen direpotin kamu.