Petualangan Teristimewa

Petualangan Teristimewa

Oleh Wida Kharisma Al Qorni

Suara orang-orang yang sedang mengaji masih lamat-lamat terdengar. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Ibu masih sibuk berkutat dengan baskom kecil di hadapannya. Setengah mengantuk, aku menyandarkan kepala pada pintu di dekatku. Saat menunggui Ibu melakukan tugasnya di temaramnya lampu, ternyata membuatku cukup sulit untuk tetap membuka mata.

Guncangan pada bahu membuatku langsung terjaga. Di depanku, Ibu sudah siap dengan menggendong baskom yang dibungkus taplak berwarna merah di pinggangnya.

“Ndah, ayo, Ibuk sudah selesai!”

Aku lantas bangun dengan semangat. Rencananya, malam ini aku akan ikut Ibu mengantar bekal makan sahur Bapak ke hutan tempatnya berjaga.

Ya, beberapa hari terakhir ini Bapak memutuskan menjaga tanaman jagung dari serangan babi liar di kawasan hutan yang sedang kami garap. Penghijauan kembali kawasan hutan yang digagas pemerintah menguntungkan warga sekitar untuk bercocok tanam sebelum akhirnya nanti akan ditanami pepohonan pilihan Perhutani kembali.

Aku melangkah dengan riang. Api obor—yang terbuat dari pelepah pepaya diisi minyak tanah dan diberi sumbu kain bekas—meliuk-liuk tertiup angin ketika kubawa berlompatan.

“Pelan-pelan, Ndah, nanti mati obornya!” tegur Ibu.

Aku mengangguk. Kali ini kubawa obor itu lebih pelan dan hati-hati. Jalan setapak yang kami lalui cukup lebar. Sesekali Ibu memegangiku jika beliau merasa aku akan kesulitan melewati jalan perbukitan yang miring dengan permukaan yang banyak menyembulkan akar pepohonan.

Langit malam begitu terang. Sesekali aku mendongak memandangi ribuan bintang yang berkelap-kelip di awan. Aku seringkali terantuk saat berjalan karena terlalu mengagumi keberadaan mereka. Semuanya terlihat sangat indah.

“Buk, ada meteor jatuh!” tunjukku ke langit setelah melihat sebuah batu besar menyala terang memelesat cepat di angkasa.

“Pesawat?”

“Bukan, Buk. Bentuknya kayak batu gede,” kataku.

Ibu ikut mendongak mengikuti telunjukku. “Mungkin lintang ngaleh¹. Udah, cepet jalannya, nanti kita makin kemaleman kalau pulang!” perintah Ibu.

Padahal, menurutku ini adalah peristiwa yang langka. Namun, karena kami sedang tergesa-gesa, Ibu jadi tidak terlalu memedulikannya.

Jarak tempuh yang lumayan jauh membuat napasku sedikit terengah-engah saat sampai di urengan² tempat Bapak mendirikan gubuk. Di sana tak hanya Bapak yang berjaga, ada beberapa tetangga yang ikut berjaga di tanah garapan masing-masing usai menjalankan salat Tarawih bersama di langgar tadi.

“Singkong bakar, Ndah,” tawar Bapak sembari menyodorkan sebuah singkong bakar yang baru saja diangkat dari perapian di depannya.

Aku mendekat dengan antusias. Ketika melakukan hal-hal seperti ini di hutan, aku merasa seolah-olah berada dalam adegan film pendekar—pendekar yang memakan binatang buruannya setelah dipanggang di api unggun.

Harum singkong yang baru matang membuatku segera menikmatinya dengan lahap, sementara Bapak dan Ibu berbincang mengenai babi liar yang makin marak merusak tanaman.

“Ayo pulang, Ndah!”

“Tapi, Bu ….” Aku merengek hendak merajuk. Rasanya, aku masih betah berlama-lama di sini dan ingin menyusuri sekitar.

“Ayo! Kalau kemalaman, nanti kamu malah enggak bisa dibangunin saat sahur,” ucap Ibu tegas.

Aku mengangguk pasrah, lantas bangkit, mencium tangan Bapak, lalu berpamitan pulang. Bapak mengusap kepalaku seraya tersenyum. Lagi pula, kata Bapak, kapan-kapan aku bisa ikut Ibu lagi jika mengantar makanan ke sini sebelum masa panen tiba.

Dalam hati aku berharap akan mengalami banyak petualangan menarik lain seperti ini yang kelak saat dewasa bisa aku simpan dan ceritakan kepada orang lain sebagai kenangan terindah dan teristimewa.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *