Lubuk Gaung

Lubuk Gaung

Oleh Akhmadi Sumaryanto

September 1974 berbarengan dengan Ramadan 1394 Hijriah. Waktu itu, libur panjang sekolah selalu pada bulan Ramadan.

Sebagai anak usia sepuluh tahun, saya sudah harus membantu Ibu mencari kayu. Waktu itu, Ibu memasak menggunakan bahan bakar kayu.

Saya beserta teman-teman mencari kayu ke kebun pada hari Minggu. Biasanya, kami mencari kayu berombongan. Kami mencari kayu kering yang sudah jatuh dari pohon utamanya. Bila ada pemilik kebun kopi yang berbaik hati, beliau mempersilakan anak-anak menebang kayu kopi yang sudah tidak produktif.

Pada bulan Ramadan, mencari kayu dilakukan sepagi mungkin, berangkat sebelum matahari terbit. Perlu waktu satu jam untuk sampai di perkebunan kopi milik warga.

Hari kelima Ramadan, rombongan kami yang berjumlah tujuh orang berangkat ke sebuah tempat yang bernama Lubuk Gaung. Ketika akan berangkat, Kang Naseha memperingatkan kami.

“Nanti kalau sudah sampai Lubuk Gaung, jangan ada yang berteriak-teriak! Itu daerah angker!”

Saya menyela, “Kenapa, Kang, kalau teriak?” Biasanya, ketika di kebun, salah satu isyarat memanggil kawan adalah dengan berteriak.

“Itu daerah angker! Kalau kita berteriak, akan ada yang menirukan,” ucap Kang Naseha.

“Ndak jadi ajalah saya ikut,” kata David, anak paling kecil di kelompok kami.

“Ah, pengecut kamu! Baru dengar gitu aja udah takut!” kata saya memotivasi agar tetap ikut.

Kami berjalan sambil bersenda gurau. Bila ada buah yang bisa dimakan, kami ambil dan menyimpannya untuk berbuka. Masing-masing kami membawa keneron untuk menyimpan makanan.

Sesampai di Lubuk Gaung, tahulah saya mengapa disebut Lubuk Gaung. Daerah itu dikelilingi oleh bukit. Dari yang saya baca, bukit itu akan memantulkan suara sehingga suara teriakan akan menimbulkan efek echo. Saya mencoba berteriak, ternyata benar, suara saya ada yang mengikuti.

David segera merapat ke badan Kang Naseha. “Kang, takut, daerahnya serem,” katanya.

Kang Naseha memelototi saya, seolah-olah meminta agar jangan menakut-nakuti. Setiap saya berteriak, David akan berlari merapat kepada kawan yang paling dekat.

Setelah dirasa cukup, karena sedang berpuasa hanya bisa membawa kayu lebih sedikit dari biasanya, kami beranjak pulang. Di tengah jalan, pemilik kebun yang mengenal bapak saya, ternyata sudah menyiapkan seikat kayu kopi kering.

“Tinggalkan saja yang basah, ini kamu bawa yang kering!” ujar pemilik kebun itu sambil menyerahkan seikat besar kayu kering.

Ternyata, kayu kopi itu lebih berat daripada kayu yang saya siapkan sebelumnya. Ada perasaan gamang sebenarnya, tetapi tentu saja ewuh pekewuh dengan si pemberi yang sudah bersusah payah menyiapkan kayu kering. Dengan berat hati saya angkat juga kayu seikat besar itu.

Kami harus melewati tanjakan tinggi untuk keluar dari Lubuk Gaung. Belum juga sampai di ujung tanjakan, David sudah ngos-ngosan dan meminta berhenti.

Kami semua berhenti. Kaki rasanya sudah tidak kuat menyangga badan. Setelah dirasa cukup istirahatnya, kami melanjutkan perjalanan dan kembali menapaki tanjakan.

Di ujung tanjakan ada gubuk yang biasa digunakan untuk beristirahat para petani setelah menapaki tanjakan tinggi. Gubuk itulah yang kami tuju untuk beristirahat karena kaki rasanya tidak kuat lagi untuk melangkah. Kayu bawaan David sudah ditinggal di tengah jalan dan tidak dibawa. Sesampai di gubuk, kami seakan-akan sudah kehabisan napas.

Kang Naseha memerintahkan kami beristirahat di gubuk itu. Kami sudah lelah, haus, dan lapar karena puasa.

Angin sepoi-sepoi yang bertiup dari sela dedaunan merupakan irama yang pas untuk membuat mata berat. Mula-mula David tertidur. Setelah ditunggu cukup lama, dia tidak juga bangun. Akhirnya, yang lain pun menyusul merebahkan diri.

Entah berapa lama kami tertidur. Ketika bangun, matahari sudah condong ke barat. Kami dibangunkan oleh rombongan orang tua kami yang kehilangan anaknya karena sudah tiba waktu Asar belum juga sampai di rumah. Biasanya, kalau mencari kayu, pukul sepuluh kami sudah kembali. Rupanya, kekhawatiran orang tua kami—terutama ayah David—memuncak karena telah lewat waktu zuhur, tetapi kami belum kembali.

 

Catatan :

Keneron : tas kecil dari daun pandan duri.

Efek echo : efek gaung dari suara yang diteriakkan.

Ewuh pekewuh : tidak enak hati

1 komentar untuk “Lubuk Gaung”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *