Menjadi Sasaran
Oleh Radeka Frishilla
“Jangan dipepetin mulut! Nanti puasa kamu jadi batal!”
Lia menegur Yanti yang sedang menempelkan plastik berisi air warna merah jambu di dekat mulutnya. Niat Yanti ingin meniupnya agar plastik itu bisa sedikit menggembung. Akan tetapi, yang terjadi malah bekas air yang ada di sela-sela plastik tersebut menempel dan sedikit masuk ke mulutnya.
“Nah, kan, aku bilang juga apa! Hayolo, puasamu batal!”
Yanti tampak gelagapan. Dia langsung mengusap kasar mulutnya dan memberikan secara asal plastik berisi air pewarna itu ke tangan Lia. Yanti beranjak mendekat ke arah keran yang berada di samping rumahnya.
Lia tengah bermain masak-masakan sekaligus jual beli bohong-bohongan di halaman rumah Yanti. Selain karena luas, di halaman tersebut suasananya menyenangkan. Bisa betah juga jika berlama-lama main di sana.
“Sebentar, aku mau cuci mulut dulu,” ucap Yanti sembari menyalakan keran.
Lia menghela napas, kemudian mengikat plastik yang tadi diberikan Yanti. Setelah selesai, dia beranjak melihat sahabatnya yang sedang berkumur dan membersihkan mulut itu.
Sedetik kemudian, Yanti mematikan keran dan menghentikan aktivitasnya. Dia beralih menghadap ke arah Lia.
“Aku enggak sengaja nelan air,” ucap Yanti dengan mengusap tetesan air di mulutnya. “Tapi, enak meski air keran.”
Lia terbelalak. Dia menelan ludah berkali-kali. Barangkali, dia juga ingin melakukan hal yang sama seperti sahabatnya itu. Terlebih lagi cuaca sangat panas. Hal itu sangat menggiurkan sekali untuk membasahi tenggorokan yang kering. Benar-benar godaan yang luar biasa!
***
Lia berlari pulang ke rumah. Hari sudah lumayan sore. Hampir seharian dia bermain dengan Yanti.
Dia menambah kecepatan larinya sehingga semenit kemudian dia sudah berhenti tepat di halaman rumah. Dia melepas terlebih dahulu sandal di halaman, lalu melangkah masuk ke rumah.
“Asalamualaikum.” Meski kebandelan Lia bisa dibilang di atas rata-rata, anak manis seperti dirinya masih beretika.
“Kirain lupa jalan pulang!” ucap Ibu ketus setelah menjawab salam. “Liburan sekolah bukannya bantuin Ibu, ini malah main-main sampai lupa waktu begini.”
Ibu mengeluarkan pidato andalannya jika Lia bermain hingga lupa waktu seperti sekarang ini.
Lia hanya menyengih sembari melihat jarum jam yang menunjuk angka setengah lima. Segera dia cium punggung tangan Ibu.
“Udah Asar belum?”
Lia kembali menyengih, kemudian menggeleng pelan. Ketika melihat Ibu mendelik menatapnya, segera Lia berlari mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Hanya butuh sepuluh menit dan Lia sudah selesai membersihkan diri. Setelah beraktivitas sore serta selesai menunaikan kewajiban, dia kembali beranjak menuju ruang keluarga.
“Ibu sudah masak? Lia mau bantuin,” ucap Lia ketika melihat Ibu bersantai di ruang keluarga, tidak berkutat di dapur seperti hari-hari biasanya.
“Udah dari tadi selesainya,” jawab Ibu ketus.
Lia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
Sementara itu, Ibu menaikkan volume televisi yang sedang ditontonnya. Di televisi tersebut tengah tayang acara “Hafiz Indonesia”.
“Lihat itu! Dia seumuranmu, masih SD, tapi udah hafal Qur’an gitu.”
Ibu bicara antusias. Bahkan, beliau menunjuk tayangan televisi itu sehingga spontan membuat Lia mengikuti arah tunjuknya. Acara tersebut menampilkan anak seusia Lia yang sedang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Suara anak itu terbilang merdu, membuatku siapa saja yang mendengarnya ikut hanyut dengan bacaan Al-Qur’an yang anak itu bacakan.
“Tiru yang seperti itu! Jangan gabut banget, habis salat Tarawih bukannya tadarusan, malah langsung main lempar sandal, mercon, dan kembang api sembarangan!”
Lia menoleh ke arah Ibu sambil tersenyum tanpa dosa. Memang, sehabis salat Tarawih dia terbiasa bersama teman-temannya bermain seperti yang Ibu bilang tadi. Namun, itu tidak sepenuhnya benar, dia masih tadarusan setelah itu. Memang pada dasarnya, Ibu saja yang tidak tahu anaknya itu kerap tadarusan diam-diam.
“Masih tadarusan, lo, Bu,” gerutu Lia sembari menyenderkan tubuh di senderan tembok, kemudian kembali menatap televisi. Di sana rupanya sudah berganti tampilan, kali ini yang tampil seorang hafiz yang umurnya bisa dikatakan lebih muda dari Lia.
“Nah, itu kecil-kecil cabe rawit!” Ibu kembali bersuara lebih antusias dari sebelumnya. Seperti halnya tadi, beliau menunjuk-nunjuk tayangan tersebut dan mengeluarkan pidato andalannya.
Lia hanya pasrah mendengarkan sembari menghela napas. Memang, seperti itulah setiap dia duduk santai bersama Ibu di ruang keluarga. Apalagi, dengan tayangan seperti saat ini, dia harus menjadi sasaran pidato panjang lebar ibunya.
“Tidak apa-apa, Bu! Doakan nanti Lia bisa seperti mereka!” Lia menyahut dengan kepercayaan diri di atas rata-rata. Setidaknya, hal itu berhasil membuat pidato Ibu perlahan mereda.
Beberapa detik kemudian, Lia menghela napas lega. Akhirnya, kali ini situasi kembali tenang sampai menunggu azan Magrib yang akan segera tiba.