Indahnya Syukur

Indahnya Syukur

Oleh Anaa Muthmainnah

“Fah, ayo, ke belakang! Hari ini kita buka bersama, lo.”

Seseorang bicara sambil menepuk pundakku dari belakang saat aku sedang membaca buku. Aku sebenarnya sudah tahu jika sore ini ada acara buka bersama. Semua santri harus ikut ke belakang. Aku tak begitu suka jika harus makan ramai-ramai dalam satu nampan yang biasanya berisi sepuluh orang dengan duduk melingkar.

Sebelumnya, aku juga belum pernah tinggal di pesantren. Belum terbiasa juga makan bersama dalam satu nampan. Jadi, mungkin ini yang membuatku tak nyaman.

“Oh, iya, Al.”

Dengan berat hati aku beranjak, lalu mengekori langkah sahabatku. Setelah sampai di belakang, aku dan Alya pun mencari tempat yang nyaman. Hampir semua nasi sudah ada para santri yang mengelilingi. Pertanda nasi sudah jadi pemiliknya. Hanya menunggu waktu berbuka, nasi akan masuk ke perut yang setelah seharian menahan lapar.

“Sini, Fah!” Alya mengintruksi agar aku duduk di sebelahnya.

Mau tak mau aku pun menurutinya.

“Alhamdulillah, udah azan!” seru para santri dengan antusias. Lalu, semua santri membaca doa sebelum berbuka.

Aku terlebih dahulu minum es buah yang berada di genggaman. Rasanya nikmat sekali. Seketika tenggorokan terasa segar.

“Ayo, Fah, makan! Kok, diem aja, sih?” celetuk Alya saat aku hanya memandang santri-santri yang makan begitu lahap.

“Eh, iya.” Aku pun terpaksa makan. Namun, aku hanya mengambil lauknya. Entahlah, nafsuku seketika hilang melihat nasi yang sudah tercampur tak beraturan yang ada di depanku.

***

“Fah, ayo, cepetan! Keburu Ustaz Rahman rawuh.” Alya berdiri di depan pintu menungguku yang sedang memakai jilbab.

“Iya, sebentar.”

“Alhamdulillah, belum rawuh ustaznya,” ucap Alya setelah kami sampai di kelas.

Setelah beberapa menit, Ustaz Rahman pun datang. Beliau mengucap salam, lalu memimpin doa sebelum belajar. Lelaki yang memakai sarung motif dan kemeja merah marun itu menatap sekilas ke arah santri putri.

“Mbak pojok depan, baca halaman 28!”

Aku tersentak, kaget mendengar instruksi dari Ustaz Rahman.

“Duh, kitabku masih ada yang bolong, Al,” bisikku setelah membuka kitab halaman 28.

“Udah, enggak apa-apa, baca aja seadanya, Fah.” Alya berbisik sambil menunduk karena takut ketahuan oleh Ustaz Rahman jika sedang berbicara denganku.

Mau tak mau aku pun berdiri untuk membaca bab yang sudah diinstruksikan oleh Ustaz Rahman.

Ngapunten, kitab saya masih bolong, Ustaz,” ujarku menahan malu setelah membaca hanya beberapa baris.

Ustaz Rahman pun menyuruhku untuk tetap berdiri. Beliau menunjuk santri lainnya untuk membaca bab yang belum kuselesaikan tadi.

Sudah ada lima belas menit, tetapi belum ada tanda-tanda aku disuruh duduk. Entahlah, aku merasa Ustaz Rahman kerap kali menunjukku. Salahku juga lupa menambal kitab, terlalu disibukkan dengan tugas kuliah.

“Duduk, Mbak!” ujar Ustaz Rahman.

Aku pun mengucap syukur dalam hati setelah tiga puluh menit berdiri. Namun, tetap saja aku masih merasa dongkol. Padahal, aku sudah duduk di depan. Biasanya, Ustaz Rahman akan menunjuk mbak-mbak yang duduk di belakang.

Kejadian itu pun terulang kembali meski sebelumnya aku memilih untuk duduk di barisan tengah. Namun, Ustaz Rahman tetap saja menunjukku. Apa beliau sengaja? Ah, entahlah.

“Al, aku, kok, pengen pulang,” ucapku lirih. “Aku enggak kerasan di pondok.” Aku mengeluarkan keluh kesahku saat kami sedang duduk santai di lantai tiga.

Alya mengusap-usap punggungku. “Fah, kalau kamu mau pulang, nanggung banget. Sebentar lagi, kan, libur Lebaran. Tahan dulu, ya,” ucap sahabatku itu lembut.

“Tapi, aku enggak kerasan, apalagi waktu kemarin makan satu nampan bersama. Seketika nafsu makanku hilang,” ucapku sendu.

“Fah, karena kamu belum terbiasa. Di pondok, kan, emang sudah biasa makan satu nampan.” Alya menghela napas sebentar. “Kamu harus belajar membiasakan diri. Makan satu nampan itu nikmat. Insyaallah, berkah, lo.”

Ya, mungkin benar apa yang dikatakan Alya. Aku harus membiasakan diri, mengingat aku baru empat bulan di pondok.

Aku menoleh ke arah sahabatku. Dia tersenyum manis. Ah, sahabatku. Dia selalu sabar menghadapi tingkahku yang kekanak-kanakkan.

“Terus, kenapa ketika ngaji Ustaz Rahman, aku sering ditunjuk?” Aku bertanya lagi setelah beberapa menit hening di antara kami.

“Mungkin dia naksir kamu, Fah,” jawab Alya enteng.

Aku mencebik.

“Lo, bisa jadi, lo, Fah. Beliau sering nunjuk kamu mungkin ingin mengenal kamu lebih dekat.” Alya tersenyum menyeringai.

Aku tak percaya dengan argumen yang dia lontarkan.

“Kamu juga harusnya bersyukur. Dengan kamu sering ditunjuk, sekarang kitab kamu jadi penuh, kan?” Alya menambahkan lagi.

Benar juga apa yang dikatakan Alya. Kitabku sekarang penuh. Namun, tetap saja aku merasa tidak nyaman jika sering ditunjuk oleh Ustaz Rahman.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *