Kehilangan Ketenangan Hidup

Kehilangan Ketenangan Hidup

Oleh Langit Rindu

Aku sedang mengeluarkan pensil dan penghapus dari saku jas laboratorium saat Fia menggebrak meja praktikum di depan kami. Mungkinkah dia lupa kalau meja itu terbuat dari ubin? Ups, rasanya pasti sakit. Terbukti sesaat setelah itu, dia mengibas-ngibaskan telapak tangannya yang memerah.

“Sakitnyaaa ….” ringisnya.

Aku tergelak pelan. “Salah sendiri. Mau ngomong apa, sih? Pakai pukul-pukul meja segala?”

“Tau enggak—”

“Heleh, pembukaan kalimat khas tukang gosip!” potongku.

“Nanti malam bukber HIMBIO di rumah Bang Asrul. Duh, aku jadi kelapa muda-kelapa muda,” lanjutnya tanpa peduli keberatanku.

“Kelapa muda?”

“Makanya, jangan gaul sama buku doang, ngumpul, kek, sesekali! Biar tahu kalau kelapa muda-kelapa muda itu artinya deg-degan,” cibirnya.

Kenapa aku harus ikut ngumpul di kafe, membuang-buang uang cuma untuk tahu tentang kelapa muda? Ah, Fia mana tahu rasanya jadi aku! Uang yang dihabiskannya untuk jajan seminggu saja setara dengan uang bulananku.

“Serius kamu cuma nanggapin kelapa muda doang? Aku ngomongin Bang Asrul, lo. Bang Asrul!”

Bang Asrul, ya? Anganku seketika melayang kepada laki-laki yang menamparku dengan perkataan di pertemuan pertama kami setelah sekian lama itu.

“Dih, malah bengong. Kamu bawa makanan apa nanti?” tanya Fia sambil menggoyang lenganku.

Aku kembali terdiam. Apa kiranya makanan yang murah, tetapi tetap layak disuguhkan kepada teman-teman? Saat mengingat isi dompet yang makin menipis, aku meringis.

“Nantilah kupikirkan lagi. Konsentrasi buat pre-test dulu,” sahutku sembari membuka modul penunjang praktikum.

Fia tampak tak terima pembicaraan berakhir begitu saja. Namun, saat dia membuka mulut kembali, sosok yang dibicarakannya tadi memasuki ruang praktikum. Bang Asrul, asisten praktikum Morfologi Tumbuhan, datang dan sukses membuatnya kembali tenang. Syukurlah.

***

“Wei, Pikachu! Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu bawa apa nanti ke rumah Bang Asrul?”

Allahu Akbar, bocah besar satu ini belum menyerah juga rupanya! Padahal, aku sudah berupaya menghindar dengan lekas keluar ruangan setelah praktikum selesai.

“Vika, bukan Pikachu. Sembarangan kamu! Beli permen aja, boleh enggak? Buat cuci mulut,” cetusku asal.

Bug!

Bar-bar sungguh anak Pak Camat satu ini. Kuusap pundakku yang sedikit nyeri terkena pukulan tangannya. Sementara itu, sumber masalah sudah berlari meninggalkanku.

“Minggir! Koridor bukan buat lari-larian, mengganggu orang yang mau lewat!”

Suara itu membuatku yang bersiap mengejar Fia mematung seketika.

“Maaf, Bang,” ucapku bersamaan dengan Bang Asrul yang berjalan melewatiku tanpa menoleh sedikit pun.

Beberapa langkah di depanku, lelaki berkemeja abu-abu itu berhenti. “Kalau enggak punya uang, jangan paksa beli sesuatu. Kamu enggak usah bawa apa-apa. Datang bawa diri aja, cukup!” ujarnya tanpa repot-repot melihatku.

***

Aku membawa satu loyang agar-agar susu yang kubuat sendiri sepulang kuliah ke rumah Bang Asrul. Akhirnya, aku tak datang dengan tangan kosong seperti permintaan aneh Bang Asrul. Sepertinya, aku sedikit terlambat.

“Sudah kubilang jangan bawa apa-apa!” ujar laki-laki berbaju koko merah marun itu ketus sambil meraih wadah agar-agar dari tanganku.

Aku yang terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba saat baru melangkah masuk pun tak tahu harus menjawab apa.

“Apa itu tadi?” Fia menyenggol bahuku tiba-tiba.

“Apanya?” tanyaku tak mengerti. Belum habis keherananku, muncul pula tukang kepo.

“Bang Asrul, kok, ngambil sendiri makanan bawaanmu? Aku dan yang lain aja tadi disuruh nyimpan sendiri di belakang. Bikin curiga. Kuperhatikan dia gelisah dari tadi, sebentar-sebentar lihat ke arah pintu.             Kurasa, dia nungguin kamu. Kalian ada hubungan apa?”

Aku menggeleng. Namun, Fia tetap menatapku dengan pandangan menyelidik. Kutoyor pelan dahinya dan mulai melangkah masuk ke ruang tengah, tempat teman-teman dan senior telah berkumpul.

Mataku mengenali wanita dengan kaftan cokelat susu itu dengan sekali tatap saja. Beliau sungguh tak berubah, masih tetap awet muda seperti delapan tahun yang lalu. Ingin sekali kuhampiri, tetapi ragu-ragu. Rasa tidak percaya diri muncul seketika.

Saat beliau menoleh ke arahku, matanya membesar. Wanita itu melangkah mendekatiku diiringi tatapan ingin tahu orang-orang yang ada di sana.

“Vika! Calon menantu Umi!” serunya.

Mati aku!

“Kenapa baru ke sini sekarang? Ya, Allah, cantiknya udah pakai kerudung gini,” lanjutnya tanpa menyadari manusia-manusia yang menampilkan wajah bengong di belakang sana.

Kutatap anak lelakinya dengan pandangan memelas agar dia melakukan sesuatu untuk menghentikan ocehan ibunya. Namun, Bang Asrul hanya mengusap telinganya. Dia salah tingkah. Aku masih ingat gestur mantan tetanggaku itu.

Pelukan melingkupi tubuhku tiba-tiba. Mataku memanas, rasanya masih sama seperti dahulu, hangat dan nyaman.

Setelah Ayah ditipu teman bisnisnya, kami pindah rumah. Ibu bahkan tak sanggup menghadapi tagihan yang datang hampir tiap minggu, lalu pergi selamanya meninggalkanku yang kala itu masih  kelas satu SMA.

Sekilas kulihat tatapan penuh ancaman dari Fia. Pasti dia akan menagihku untuk cerita. Haish! Ramadan kali ini aku kehilangan ketenangan hidup.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *