Cerita Seru Ramadan Selepas Subuh pada Masa Lalu
Oleh Putri Nurcahyanti
Masih terbayang dalam ingatan hingga sekarang tentang kisah Ramadan saat aku masih kelas 4 SD. Dahulu hal paling menyenangkan adalah ketika salat Subuh berjemaah di masjid, dikenal dengan istilah “subuhan” di lingkunganku. Aku senang karena teman-temanku—Eli, Afi, dan Misti—setiap hendak ke masjid pasti menyamperiku terlebih dahulu. Setiap masuk waktu imsak, mereka sudah menunggu di depan rumah.
“Putri, cepetan!” teriak Afi.
“Iya, cepet biar kita paling depan safnya,” sambung Eli.
“Iya, Put. Jangan lupa bawa buku kegiatan Ramadannya!” ucap Misti.
Aku pun keluar rumah dan membawa buku kegiatan Ramadan.
Kami memang selalu bersemangat ketika pergi subuhan. Setelah salat Subuh berjemaah, dilanjutkan dengan kuliah subuh. Rutinitas setelahnya, yaitu meminta tanda tangan kepada imam masjid. Semua anak antusias dalam meminta tanda tangan, semua ingin didahulukan.
Karena hari ini adalah hari libur sekolah, kami pun berjalan-jalan pagi. Ramai sekali orang berjalan-jalan. Udara pagi memang masih segar.
Sebenarnya, ada hal yang kami takutkan ketika jalan-jalan pagi itu, yaitu anak-anak yang sedang menyalakan petasan. Biasanya, mereka melemparkan petasan tersebut ke arah orang-orang yang sedang berjalan-jalan. Kami pun tak luput dari aksi jail mereka. Saat itu juga, tiap ada yang melempar petasan, kami pun berlari kencang. Walau takut, kami selalu menyempatkan tertawa karena ekspresi ketakutan kami sangat lucu.
“Putri, awas!” teriak Afi ketika melihat anak lain hendak melemparkan petasan kepada kami.
“Iya, aduh, Fi, aku malah kebelet pipis,” ucapku.
“Iya, aku juga, nih!” sambung Misti.
“Ya, udah. Kita numpang dulu ke rumah orang,” saran Eli.
Kami akhirnya menumpang pipis di rumah tukang sayur—Bu Painah. Untung beliau orangnya baik.
Kami memutuskan untuk pulang saja karena matahari sudah mulai tampak cerah dan meninggi. Kami kira, saat pulang, tidak akan berpapasan lagi dengan gerombolan anak iseng yang membawa petasan. Ternyata, dugaan kami salah.
“Gimana, Fi? Aku takut bakal dilempar petasan lagi, nih,” ucapku.
“Tenang saja, ya! Semoga kita enggak ketemu anak-anak iseng lagi,” timpal Afi menenangkan.
Padahal, anak-anak sudah diperingatkan untuk tidak melempar petasan oleh orang tua yang melintas, tetapi tetap saja mereka tidak menggubrisnya.
Benar saja, saat hendak kembali ke arah jalan pulang, kami berpapasan lagi dengan anak-anak yang gemar melempar petasan.
Duar!
Suara petasan itu mengagetkan kami. Kami refleks berlari. Namun, sayang, aku kena cipratan petasan di betis. Rasanya benar-benar perih.
Aku berteriak karena sakit, lalu duduk sejenak. Teman-temanku membantu mengusap betisku. Anak-anak yang melempar petasan itu malah kabur.
Aku dan teman-teman akhirnya pulang. Aku menceritakan semua kejadian itu kepada mamaku. Sejak saat itu, aku dilarang untuk jalan-jalan selepas subuh karena banyak petasan.
Hari-hari setelah itu, setiap selesai kuliah subuh, aku dan teman-teman bermain di dalam rumah. Kami bermain monopoli, bola bekel, bahkan sekolah-sekolahan. Ternyata, bermain di dalam rumah itu lebih menyenangkan, tidak berbahaya, dan tidak khawatir terkena petasan.
Waktu juga terasa berlalu lebih cepat jika sedang bermain. Bahkan, jika sekolah libur, kami bermain sampai siang. Kami tak merasakan haus dan lapar saat berpuasa.
Karena pernah terkena cipratan petasan, sampai sekarang aku jadi takut dengan petasan. Hal itu benar-benar membuatku trauma. Cipratannya saja sudah membuat perih, apalagi yang terkena ledakan petasan. Sungguh tidak bisa dibayangkan!