Baju Hari Raya
Oleh Silvia Reynatha
Aku masih menduduki bangku kelas 6 SD sekitar tahun 2014. Waktu itu, sehari sebelum masuk Idul fitri, seperti biasa, semua umat Islam pastinya sudah membeli pakaian baru untuk dikenakan besok ketika salat Id di masjid, tetapi tidak denganku.Tahun itu adalah tahun yang paling melarat bagiku dan keluarga.
Anak seusiaku riang gembira mendapat pakaian baru dengan gaya pernak-pernik mencolok serta sepatu atau sandal yang mengkilat. Aku hanya bisa sabar menahan sesak di dada. Bibir ini hanya bisa tersenyum sabar menerima semua kenyataan yang pernah kualami.
Hari-H pun tiba. Aku sengaja pergi kemasjid pada akhir waktu, sekitar pukul 07.15, supaya mendapat tempat duduk paling belakang. Aku malu karena tidak memakai baju baru atau sandal baru. Aku duduk di bagian belakang supaya orang-orang tidak memperhatikanku karena memakai baju raya tahun yang lalu.
Ibuku berpesan,”Kak, jangan malu!Ingat,amalan ibadah kita bukan dinilai dari berapa mahalnya harga baju lebaran Kakak, tetapi berapa banyaknya amalan Kakak selama bulan suci Ramadan ini.”
Pesan itu masih terngiang jelas di telingaku sampai saat ini. Benar apa kata Ibu, tetapi tetap saja,yang namanya anak kecil pasti ada rasa minder dan malu ketika tidak punya baju baru saat Lebaran.
Penghasilan orang tuaku dulu memang sedikit sehingga tak cukup untuk membeli barang-barang baru saat Lebaran, hanya cukup untuk membuat camilan-camilan ringan dan opor ayam seadanya.
Satu tahun kemudian, aku berangkat ke pondok pesantren. Di sana aku menimba banyak sekali ilmu dan pelajaran-pelajaran hingga aku paham betul tentang artinya hari raya yang sesungguhnya.
Tahun pertama di pesantren, aku tidak memikirkan lagi bagaimana jika aku tidak memiliki baju baru saat Lebaran. Aku hanya memikirkan bagaimana bisa pulang sebelum Idulfitri serta memperoleh nilai mumtaz. Aku tak peduli jika masih memakai baju tahun yang lalu. Aku hanya ingin membuat orangtuaku bangga saat aku pulang dengan nilai sempurna.
“Alhamdulillah.Selesai tes tahfiz, langsung tes amaliah ibadahnya,” ucap Mudabbir yang mengetesku.
Dengan segala keyakinan aku masuk ke ruangan penguji dua. Hanya butuh lima belas menit dan pengetesan pun selesai. Alhamdulillah, nilaiku sempurna. Padahal, dalam hatiku ada rasa ragu saat diuji.
Seusai pengetesan, kelas satu madrasah aliyah disuruh berkumpul di rumah pimpinan pondok, Abi dan Umi. Mudabbir menyuruh kami untuk mencoba satu setel gamis dan sepasang sandal.
Awalnya kami tidak mengerti mengapa harus mencoba baju-baju itu.Ternyata,setelah dijelaskan Umi, itu adalah baju lebaran untuk para santri.
Hati ini sangat bersyukur sekali. Ingin rasanya aku menangis waktu itu, tetapi, kan, kalau menangis lagi puasa, nanti puasanya bisa batal. Dalam hati aku berkata, Inikah berkahnya aku mondok?
Pada sore harinya, kami kembali memperoleh dua pasang baju baru dari dua tamu yang baru saja datang untuk memberikan sedikit rezekinya.
Beberapa tahun lamanya aku berada di pondok pesantren itu.Setiap tahun aku selalu mendapatkan baju lebaran dari pondok dan tidak pernah meminta untuk dibelikan baju lebaran kepada Ibu.
Saat sudah lulus sekolah dan lulus dari pesantren, bisa terhitung aku beli baju lebaran dengan menggunakan uang dari Ibu.Saat ini, aku sudah menjadi guru.Alhamdulillah,aku bisa membeli sendiri baju setiap lebaran dengan uang hasil jerih payahku.
Aku akan selalu mengingat kejadian masa lalu itu. Banyak pengalaman yang aku dapatkan dari hikmahnya bulan suci Ramadan.Aku sangat bersyukur karena telah dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadan tahun ini.
Ibu, terima kasih sudah mengajari anakmu bagaimana caranya bersabar.Inilah hasil dari bersabarku selama ini. Semoga tahun ini menjadi tahun yang kesekian kalinya mendapat berkah dari setiap doa-doamu, Ibu.