Ayah Baru untuk Caila
Oleh Deviana Ginting
Siapa yang tidak mengenal Mahira? Seorang janda yang sudah ditinggal mati oleh suaminya. Banyak pria yang menginginkannya,sudah pasti. Banyak juga para wanita yang membencinya, itu lumrah. Namun, Mahira bukan sembarangan wanita. Mahira merupakan janda kaya dan memiliki seorang putri.
Aku Reyhan, seorang lelaki yang sudah setahun ini mengabdi di Masjid Abdurrahman—masjid yang dibangun oleh mendiang suami Mahira. Aku juga telah sebulan ini dekat dengan Mahira. Bukan,bukan aku ataupun Mahira yang menginginkannya, melainkan Caila—gadis kecil Mahira—yang menginginkanku dan Mahira agar segera bersatu dalam ikatan pernikahan.
Semenjak suami Mahira meninggal, mereka kembali ke kampung ini. Sudah dua bulan ini Caila ikut mengaji, apalagi bulan Ramadan seperti saat ini. Jadwal mengaji memang sengaja kutambah menjadi pagi setelah salat Subuh dan sore setelah salat Asar.
Saat mengetahui bahwa Caila baru ditinggal pergi oleh ayahnya, aku memang kerap berusaha menghiburnya. Siapa yang menyangka kalau jadinya seperti ini?
Entah kenapa Caila sangat yakin kepadaku. Aku juga bingung. Gadis kecil itu bahkan terang-terangan bertanya langsung di hadapanku juga bundanya sebulan yang lalu.
“Ustaz mau, kan, jadi ayah baru Caila?”
Aku sangat terkejut saat mendengar anak didikku itu bertanya. Aku hanya mampu terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
“Caila janji, Ustaz, Caila pasti jadi anak yang baik.”
Kepalan tangannya mengeluarkan jari kelingking dan disodorkannya ke hadapanku. Aku pun tersenyum melihat tingkah lucu Caila. Tanpa berpikir panjang, aku menyambut jari kelingking Caila dan mengangguk. Tak apalah, menyenangkan hati anak yatim, kan, berpahala, begitu pikirku.
Di luar dugaanku, Caila melompat-lompat sambil tertawa lepas sesaat setelah kusambut jari kelingkingnya. Gadis kecil itu bersorak gembira. Entah apa yang membuatnya seperti itu.Jangan-jangan, dia mengira aku menyetujui permintaannya? Waduh, bisa ambyar ini!
“Hore … Caila punya ayah baru!”
Gadis kecil itu bersorak-sorai sambil melompat. Wajahnya begitu semringah.
Aku melirik bundanya sambil tersenyum malu. Mahira juga sepertinya sungkan melihat tingkah anaknya.
“Maafkan Caila, Ustaz. Dia memang seperti itu semenjak ditinggal ayahnya. Kalau dia bertemu dengan pria yang sayang dan perhatian padanya, Caila selalu menginginkan untuk jadi ayahnya. Maafkan saya kalau Ustaz jadi tidak nyaman.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya maklumi, namanya juga anak-anak.” Aku hanya mampu menjawab seperti itu. Sumpah, aku kikuk sekali!
Harus kuakui, usiaku memang sudah menginjak kepala tiga lebih. Bahkan, sudah hampir menjelang kepala empat,tiga puluh tujuh tahun tepatnya. Namun, entah kenapa aku belum bisa menemukan tambatan yang pas di hati. Bukan tak ada yang menawarkan diri untuk kujadikan istri, hati kecilku belum tergerak untuk semua itu.
Apa mungkin karena trauma yang masih bercokol di hati? Adakah lelaki sepertiku ini? Seperti tak berselera melihat lawan jenis.Akan tetapi, semuanya berubah saat aku bertemu dengan Caila. Gadis kecil berusia enam tahun itu seperti menghipnotisku lewat rengekannya, pujiannya tentang sang bunda, serta kemanjaannya kepadaku.
“Ustaz belum punya istri, ya?”
“Bunda Caila cantik, kan, Ustaz?”
“Jawab, dong, Ustaz!” Caila berbicara sambil mengerucutkan bibirnya.
Ah, Caila. Pria manapun pasti akan langsung jatuh cinta melihat kecantikan bundanya. Setelah sekian lama menjomlo, entah kenapa kali ini aku setuju dan sependapat dengan gadis kecil berusia enam tahun itu. Mahira memang cantik. Dia wanita yang anggun. Jilbab besarnya itu yang paling kusukai.
Bismillah,semoga berjodoh. Semoga ini Ramadan terakhirku berstatus jomlo. Sepertinya, aku sudah terhipnotis dengan kata-kata Caila. Ayolah, Reyhan, segera lakukan lamaran!
***
“Saya tak bisa menerima lamaran ini jika Ustaz melakukannya hanya karena Caila,” ucap Mahira saat kusampaikan niat di hati.
“Saya juga bukan anak kecil yang mengambil tindakan tanpa ada pertimbangan,” timpalku. “Aku hanya ingin menggenapkan separuh agama ini dengan menikahimu dan menjadi ayah baru bagi Caila.”
Hatiku berdebar menunggu jawabannya. Tak lama kemudian, bibirku tersenyum semringah saat Mahira mengangguk, tanda menerima lamaranku. Alhamdulillah, ya, Allah. Akhirnya,Lebaran nanti aku bisa menjadi ayah baru untuk Caila.