Ramadan Pertama Neilul

Ramadan Pertama Neilul

Oleh Aizawa Fatahillah

“Bunda, aku haus,” ucap Neilul.

Bunda menghampiri Neilul dan mengusap lembut rambut hitamnya. Muhammad Neilul Author, anak lelaki berusia tiga tahun yang sedang belajar puasa. Ini adalah puasa pertamanya. Dia memiliki mata bulat sempurna dengan pipi gembil, menggemaskan tentunya.

“Sabar, ya, Nak,” ucap Bunda sambil tersenyum.

Bunda melihat sebuah jam yang terpasang di dinding, tepat menunjukkan pukul sembilan. Bunda mengangsurkan kotak mainan, lalu meminta Neilul memilih mainan apa yang ingin dimainkannya. Bunda mendampingi dengan sabar walaupun sementara harus meninggalkan pekerjaannya di meja setrika.

“Ayo, Bunda temani bermain!” ucap Bunda.

Tercetak jelas binar bahagia di wajah Neilul. Dia mengambil mainan puzzle berbentuk Ka’bah.

“Kita lomba, ya, Bunda!” ujarnya, lalu mengacak kepingan-kepingan puzzle itu di lantai.

“Ayo, siapa takut!” kata Bunda mengikuti permainan yang dipilih anaknya itu.

Bunda dan Neilul bermain puzzle dengan gembira. Sesekali mereka tertawa saat mengambil kepingan puzzle yang sama. Sejak kecil Neilul sangat menyukai permainan puzzle. Tak heran jika di rumahnya terdapat berbagai macam permainan itu, ada yang berbentuk buah, sayur, binatang, Ka’bah, ada juga yang berbentuk masjid.

“Hore! Aku yang duluan selesai!” serunya penuh kemenangan.

“Wah, anak Bunda hebat!”

“Ye … ye, aku menang!” Neilul berjingkrak riang.

Bunda tersenyum melihat tingkah Neilul. Dalam hati dia bersyukur karena rengekan anaknya itu bisa teralihkan dengan bermain.

“Nah, karena Neilul menang, sekarang Bunda mau kasih hadiah,” ucap Bunda sembari menunjukkan sebuah bungkusan berwarna merah.

Neilul mendekat ke arah bunda sembari memperhatikan bungkusan itu. Matanya berkedip-kedip, lucu sekali.

“Ini.” Bunda memberikan bungkusan berwarna merah itu kepada Neilul.

Dengan gerakan cepat Neilul mengambil bungkusan berwarna merah itu. Lagi-lagi, Bunda menarik garis bibirnya hingga terbentuk sebuah senyuman.

“Ini apa, Bunda?” tanya Neilul.

“Sepuluh menit lagi baru boleh dibuka, ya!” titah Bunda.

“Iya, tapi ini apa?” Neilul penasaran dengan isinya.

“Nanti Neilul akan tahu,” ujar Bunda sembari beranjak ke dapur.

Karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, Bunda segera menyiapkan makanan untuk berbuka Neilul. Sesuai perjanjian, hari pertama puasa, Neilul akan berbuka pukul sepuluh.

Bunda mengambil piring, lalu meletakkan setengah sendok nasi di atas piring itu, menambahkan sepotong ayam crispy, dan satu sendok makan sayur capcai. Bunda membawanya ke depan.

Neilul sedang mewarnai sebuah gambar di buku gambarnya. Dia menoleh saat mendengar langkah Bunda mendekat, lalu menatap bundanya dan bertanya, “Jam berapa, Bunda? Apakah sudah boleh berbuka?”

Bunda meletakkan makanan di hadapan Neilul, kemudian meminta Neilul untuk mencuci tangan terlebih dahulu.

Bocah itu berlari kecil menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Tak berapa lama, dia kembali dengan tangan yang basah. Bunda memberikan tisu kepadanya untuk mengelap tangan.

“Sudah, Bunda!” Neilul menunjukkan tangannya yang sudah kering.

“Oke, ayo, berdoa dulu!” ucap Bunda.

“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma bariklana fima razaqtana waqina adzaabannar. Amin.”

Neilul memakan makanannya dengan lahap. Sesekali dia meneguk minumnya. Bunda mengingatkan untuk tidak terburu-buru saat makan.

Setelah makan, bocah berusia tiga tahun itu membuka bungkusan yang tadi diberikan oleh Bunda. Tampak dia mengerutkan keningnya begitu tahu apa isi di dalam bungkusan tersebut. Rupanya, Bunda memberikan sebuah buku cerita berjudul Aku Bisa Berpuasa.

“Suka hadiahnya?” tanya Bunda.

“Suka, tapi aku, kan, belum bisa baca, Bunda,” jawab Neilul.

“Setelah ini, Neilul harus puasa lagi sampai sore, ya! Nanti setelah zuhur, Bunda bacakan bukunya,” ucap Bunda.

“Puasa lagi? Kan, sudah buka, Bunda,” ucapnya polos.

Bunda tertawa, lalu menjelaskan bahwa puasa itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Untuk anak-anak seusia Neilul yang masih tahap belajar, boleh berbuka, lalu dilanjutkan puasanya supaya mendapat pahala yang besar dari Allah.

“Oh, begitu, ya, Bunda? Aku mau lanjut puasa sampai sore, Bunda!” ucap Neilul lebih semangat.

Bunda tersenyum, lalu meminta Neilul untuk minum air putih lagi dan kembali melanjutkan puasanya. Neilul menuruti Bunda.

Setelah itu, Bunda melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan Neilul bermain sendiri di halaman depan laundry.

Sore hari, saat Bunda menyiapkan makanan berbuka, terdengar rengekan demi rengekan dari mulut mungil Neilul. Bunda menghela napas, lalu berusaha menenangkan anak lelakinya itu. Bunda meminta Neilul agar mau membantu mengaduk adonan untuk membuat pisang crispy kesukaannya. Neilul membantu sampai selesai.

Tak terasa, waktu magrib sudah hampir tiba. Neilul bersiap duduk bersila di karpet yang disiapkan oleh Bunda untuk berbuka bersama Ayah.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

Terdengar azan Magrib dari arah masjid yang tak jauh dari rumah.

“Alhamdulillah,” ucap Neilul, lalu menenggak habis es teh dalam gelasnya.

“Ternyata, puasa itu seru, ya, Bunda! Besok aku mau puasa lagi!” kata Neilul bersemangat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *