PPO

PPO

Oleh Shounia

“Mbok, tolong aku dikerokin! Badanku rasanya enggak enak banget,” kata Mbah Kakung usai salat Asar sembari menuju amben, ranjang kayu.

Aku dan Ika, adikku, yang sedang bermain di lantai sebelah amben pun menoleh serentak ke arah Mbah Kakung.

”Masuk angin lagi, Pak?” tanya Simbok, Mbah Putri, saat sedang melipat pakaian yang baru diangkat dari jemuran.

Iya, kami memanggilnya Simbok karena sudah terbiasa di lidah kami, para cucu.

Simbok yang sedang duduk di tepi amben pun beringsut saat Mbah Kakung naik ke amben. Pakaian yang sudah dilipat, kemudian digeser agar tak tersenggol oleh kaki Mbah Kakung yang mulai selonjoran.

”Iya, ini, Mbok. Sendi mulai pegel semua,” jawab Mbah Kakung seraya memijat-mijat lututnya sendiri.

“Oalah, lagi puasa malah masuk angin.” Simbok menyudahi melipat pakaian, lalu beranjak dari amben.

“Aku ambil PPO dulu, Pak. Kayaknya, aku taruh di rak sebelah pintu,” kata Simbok, lalu berjalan menuju rak untuk mengambil botol kecil PPO.

“Semoga Simbok enggak tahu,” gumamku lirih seraya menoleh ke arah Simbok.

“Ni, tolong ambilkan benggol—koin jaman dahulu—di laci kamar Simbok! Koin yang biasa buat ngerok Mbah Kakung!”

“Iya, Mbok.”

Kuletakkan mainan di lantai, lalu ke kamar Simbok untuk mengambil benggol, koin jadul dengan warna merah tembaga andalan Simbok.

“Semoga Simbok enggak tahu,” gumamku lagi.

Setelah mendapat benggol, aku kembali menemui Simbok yang sedang membalurkan minyak PPO sedikit-sedikit ke punggung Mbah Kakung.

“Ini, Mbok.” Aku menyodorkan benggol kepada Simbok, lantas kembali bermain bersama Ika.

Mbah Kakung pun mulai dikerok menggunakan minyak PPO. Sudah jadi kebiasaan Mbah Kakung jika masuk angin selalu minta dikerok oleh Simbok dan minyak PPO adalah lagu wajibnya.

Saat bermain, sesekali aku memperhatikan Mbah Kakung dan Simbok. Aku menunggu reaksi mereka setelahnya. Namun, hingga setengah jam berlalu belum terdengar juga komentar dari dua orang renta tersebut. Hingga akhirnya ….

”Mbok, kok, dikerok dari tadi enggak panas-panas, sih? Malah tambah menggigil saja badanku,” keluh Mbah Kakung, lantas menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya karena kedinginan.

Deg!

Aduh, bagaimana ini? Aku mulai gelisah karena khawatir perbuatanku akan ketahuan mereka.

”Masa, sih, Pak? Kayaknya, aku baru kemarin belinya, kok,” tukas Simbok.

“Kok, enggak panas? Itu pakai PPO, kan, Mbok?” tanya Mbah Kakung sembari menoleh ke belakang.

Simbok pun menghentikan gerak tangannya. ”Ya, pakai PPO, Pak. Tapi, emang di tanganku juga enggak panas, kayak biasa saja,” jawab Simbok, lalu mencermati botol PPO, kemudian mendekatkan ke hidung untuk mencium aromanya.

“Kok, enggak ada aroma kayak biasanya, ya?” Simbok terus membaui aroma PPO yang ditempelkan ke hidungnya.

“Ya, aku enggak tahu. Orang aku enggak pernah nyiumi PPO,” tukas Mbah Kakung.

Aku berusaha menahan tawa karena mendengar obrolan mereka meski di sisi lain ada rasa takut jika nanti akan ketahuan. Mereka pasti akan memarahiku habis-habisan. Ika pun melirikku heran. Sialnya, aku tak bisa menahan tawa, justru keceplosan hingga terkikik.

”Ada orang sakit, kok, malah diketawain. Dosa! Harusnya Mbah Kakung didoain biar cepet sembuh. Oalah … bocaaah, bocah!” kata Simbok seraya menoleh ke arahku.

Seketika aku terdiam dan berusaha menahan tawa sebisa mungkin.

“Sudah, Pak. Bajunya pakai lagi. Aku mau cuci tangan dulu,” kata Simbok, lalu turun dari amben.

Aku merasa bersyukur karena Simbok dan Mbah Kakung tak curiga sedikit pun tentang PPO tersebut.

Mbah Kakung bergegas memakai baju, lantas beranjak menuju kamar untuk istirahat. Sementara itu, Simbok sudah selesai mencuci tangan, lalu melanjutkan kembali melipat baju yang tadi sempat tertunda.

“Eh, Ka!” bisikku kepada Ika sembari masih main masak-masakkan.

“Apa, Mbak?” tanya Ika tanpa menoleh ke arahku. Dia masih asyik menumis dedaunan dan bunga yang tadi kami petik di kebun belakang rumah Simbok.

“Tahu enggak, kenapa tadi Mbah Kakung bilang PPO-nya enggak panas-panas?”

“Enggak tahu. Emang kenapa, sih?” Ika ikut-ikutan berbisik di telinga.

“Itu, tuh … PPO-nya kemarin aku isi pakai air minum dikasih teres—pewarna makanan jaman dulu—punya Mamak, makanya jadi enggak panas,” kataku sembari cekikikan.

“Ya, Allah! Kurang ajar banget kamu, Mbak! Kalau Mbah Kakung sampai tahu, Mbak bakal dikurung di kandang kambing beneran.” Ika membekap mulutnya karena menahan tawa.

“Makanya, kamu jangan cerita-cerita. Rahasia kita berdua, lo, Ka.” Aku memberi kode dengan menempelkan jari telunjuk ke bibir.

“Iya, tenang saja.” Ika melirik ke arah Simbok yang masih sibuk melipat baju. “Terus, isinya yang asli di mana?”

“Kemarin enggak sengaja kesenggol aku, terus jatuh, pecah.”

“Lah! Terus, botolnya dapat dari mana?”

“Aku dapat di bawah kolong tempat tidur Simbok.” Aku tertawa cekikikan.

“Dasar!”

Sesaat kami sama-sama menunduk, terkikik. Kemudian, kami menoleh ke arah Simbok bersamaan. Kami terkikik kembali.

Maafkan cucumu yang badung ini, Mbok. Sudah tega memalsukan minyak angin Mbah Kakung di bulan puasa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *