Cinta Ternyala

Cinta Ternyala

Oleh Kai Ken

Aku duduk di beranda rumah Nenek sembari menunggu Nenek selesai membuat sambal kacang dan merebus lalapan. Menu buka puasanya hampir tak berbeda sama sekali sejak belasan tahun yang lalu. Jikapun berubah, perubahannya tak akan kentara.

“Lama nunggunya, Birru?” Nenek bertanya selepas menutup pintu rumah.

“Ah, enggak, kok, Nek. Langsung berangkat?”

Nenek mengangguk sembari tersenyum, tanda persetujuan.

Saat aku menyalakan motor, Nenek menepuk bahuku. Katanya sambil tertawa, jalan kaki saja, Nenek bisa menggendongmu jika kamu lelah.

Aku ikut tertawa, bahkan tak reda sampai melewati gang yang diapit kebun pisang.

“Kamu enggak kangen sama Nenek, Birru?”

Usia tak hanya membuat tubuh Nenek renta, tetapi suaranya juga sehingga ia terbata-bata saat bicara.

Aku meraih tangannya, kemudian menggenggamnya erat-erat.

“Jika di dunia ini ada malaikat berwujud manusia, itu adalah Nenek. Aku sangat rindu, hanya Nenek tahu masalahnya.”

“Nenek lebih suka kamu jadi petani saja biar bisa terus nemenin Nenek. Buat apa punya banyak uang, Albirru, kalo enggak bisa bikin kamu bahagia?”

“Bisa, Nek. Birru selalu bahagia kalau ngeliat Nenek. Nenek masih ingat kata Kakek?”

Nenek memperlambat langkahnya. Mungkin, ia berjalan sambil berusaha mengingat-ingat kata Kakek.

“Kata yang mana, Birru? Nenek mendengar jutaan kata dari kakekmu.”

“Masuk akal,” jawabku sembari tertawa kecil. “Kata yang mengatakan bahwa kegiatan yang membawa kebahagiaan sekalipun akan terasa membosankan bila dilakukan setiap hari.”

Nenek menyetujuinya dengan gumaman dan napas yang sedikit berat. Mungkin, ia ingat tentang itu, tentang Kakek.

Kami sampai di pemakaman Kakek, lantas segera membersihkan sekitaran makam dengan kelemahlembutan.Sebagaimana nasihat Kakek dahulu, jangan kalian ajarkan kepadaku cara menyakiti, berlemahlembutlah!

Nenek memintaku duduk di sampingnya sehabis membersihkan makam. Kami duduk di samping kanan makam Kakek. Biarpun sudah bertahun-tahun lamanya, makam ini tetap tampak segar dipandang sebab dikelilingi tanaman-tanaman hijau lagi menyejukan mata. Tanah kuburnya seolah-olah senantiasa basah.Entah sebab apa,yang jelas Nenek selalu menangis saat mengelus nisan. Mungkin, itulah alasannya.

“Kamu ingat waktu Kakek ngajak ngabuburit ke samping rel buat lihat kereta?” tanya Nenek dengan lirih, memancarkan kesenduan yang teramat dalam.

Aku mengangguk. Aku tak berani menyela.

“Waktu itu kamu kecebur di sungai pas ada kereta lewat, terus Kakek ikut nyebur buat nyelametin kamu. Baju kamu sama Kakek berlumpur.”

“Ya, aku ingat. Waktu itu sandalku juga hilang. Terus, Kakek ngasih sandalnya ke aku gara-gara akuenggak mau pulang sebelum nemuin sandalnya.”

Nenek kembali tertawa, membuat orkes-orkes iri sebab merdunya yang tiada terkira. Bekas-bekas lapak giginya tampak saat ia makin tergelak.

“Ķita pulang waktu mau magrib dan rantai sepedanya putus di tengah jalan. Kakek terpaksa menggandeng sepedanya. Ia juga kukuh tak mau Nenek bantu atau turun. Katanya, ‘Kakek ini masih kuat. Jadi, Nenek naik saja. Nenek udah capek masak tadi, kan’.”

Nenek menangis saat bercerita. Air mata perlahan turun menyusuri lekuk-lekuk pipinya.

Saat itu kami pulang terlambat, menyongsong arah matahari tenggelam. Azan Magrib telah lama berkumandang.

“Maaf, Kakek tak bisa membawa kalian pulang tepat waktu,” kata Kakek. Suaranya terdengar murung sembari menyandarkan sepedanya ke tembok bata merah.

Nenek menggandeng tangan Kakek, lalu mengajaknya masuk beserta aku juga. Kami menyantap kolak lebih dahulu, lalu salat Magrib berjemaah.Setelah itu, kami makan bersama sembari mengiringi detak jam dinding.

Ingatanku terhenti ketika Nenek meraih tanganku. Sudah mau buka puasa, katanya. Aku menurut dan mengekorinya.

Selepas sampai di depan pintu, Nenek melepas kepergianku dengan lambaian yang tak lagi sekuat dulu.

“Salam buat Emak kamu, ya, Birru. Besok mau pada ke sini, kan? Masa lebaran enggak ngumpul di sini?” tanya Nenek.

Dengan iringan suara takbiran, mesin motor kunyalakan.

“Insyaallah, Nek. Birru pamit, ya, Nek. Wasalamualaikum!”

Ada detik yang berlompatan di antara salamku dengan balasan salam dari Nenek. Wajahnya tampak murung.

Di sepanjang perjalanan pulang, aku melihat setiap keluarga berkumpul di beranda rumah mereka masing-masing sambil dihiasi canda tawa. Rumah mereka terasa begitu hidup dan berwarna, dipenuhi lampu warna-warni, begitu lain dengan rumah Nenek.

***

Aku membuka pintu rumah, lalu bergegas masuk sehabis mengucap salam meski belum mendapatkan jawaban.

“Birru, ngapain di sini?”

“Nenek udah capek masak, tadi, kan?” Aku duduk di samping Nenek, di samping cobek berisi sambal kacang, sesangku nasi, dan sepiring lalapan.

“Ini malam takbiran, Birru!Kamu mestinya sama emakmu, sama orang tuamu.”

“Nenek juga emakku, juga orang tuaku. Emak di sana udah ada Abang, Adek, sama Bapak. Jadi, Nenek enggak usah mikirin itu, ya! Birru mau nemenin Nenek malam ini.”

Tangis Nenek seketika itu juga pecah. Ia segera memelukku. Aku membalas rengkuhannya.

“Jangan nangis, Nek. Birru sama Nenek.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *